HEADLINE

HIDUP DALAM SEBATANG ROKOK_Puisi puisi Ahmad Nyabeer(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.



HIDUP DALAM SEBATANG ROKOK

Bara itu berasal dari korek api yang dinyalakan saat engkau dilahirkan. ia tidak hanya menempel pada dirimu tapi menjalar terus menerus membakarmu. seperti waktu senantiasa membakar usia.

Usia tak pernah punya keinginan untuk bertanya apakah diberi hidup sejengkal atau sedepa. ia hanya tahu, waktu demi waktu yang membakar keberadaannya adalah kenikmatan surga bagi tuannya.

Sedang engkau, yang hanya sebatang itu, yang tak pernah membesar apalagi memanjang perlahan mesti lebur menjadi asap yang terbang menjauh ke masa lalu. hingga akhirnya Tuhan benar-benar berkehendak memadamkan nyala hidupmu.

Maka sebelum tubuhmu terbaring sebagai mayat, ada yang harus selalu kau jatuhkan ke dalam asbak pengampunan. ialah arang hitam dosa-dosamu.

Annuqayah, 2018



JIKA ENGKAU
 
Jika engkau bumi
aku mendung paling tabah
merelakan diri jatuh untuk kesegaranmu
namun harapku, jemarimu menjangkau langitku

Jika engkau api
aku sumbu-sumbu sepi
rela terbakar demi mencipta kobarmu
namun, aku yakin hitam arangku adalah kesepianmu

Jika engkau hujan
aku lubang-lubang di jalan
kehadiranku senantiasa menjaga ketenanganmu
namun, aku pastikan ketiadaaanku manjadi kegelisahanmu


Annuqayah, 2018 M.



CELOTEH PENGANTAR LUKISAN

Namaku puisi. Pengantar lukisan ini. Aku lahir dari jeritan batinnya ketika senja menghancurkan harapan dan mimpi-mimpi benar-benar ditenggelamkan. Saat itu aku lahir dengan tangisan yang hanya dapat didengar oleh orang-orang menanggung kepedihan. Hingga dengan pasrah ia dekap aku ke dadanya. Tabah menanggung sendiri bagaimanapun pedih menyembunyikan tangisanku.

Kau mungkin tahu kisah Yusuf dengan Zulaikha, cerita Muhammad dengan Khadijah. Bahwa usia tak berdaya pada cinta. Benar kata Rumi, “Cinta punya agama sendiri”. Seperti burung yang telah sempurna penciptaan tubuhnya. Maka, jangan kau r4cuni dengan nafsu. Biarkan cinta kepakkan sayap bersama kebebasan ke luas angkasa.

Hingga dengan begitu bodoh ia buat lukisan ini dan mengirimkannya. Tapi bukan untuk pacarnya. Bukan untuk kekasihnya. Bukan untuk cintanya. Lukisan ini untuk kawannya. Untuk sahabatnya yang dulu pernah menaklukkan hatinya kemudian menghancurkan mimpi-mimpinya.

Ia pun sadar pada segala kemungkinan. Bila kelak lukisan ini sampai engkau hanya melihatnya sinis kemudian menertawakan kebodohannya. Ia sudah cukup tabah pada kemungkinan derita air mata itu.

Bagaiman pun, ia hanya ingin aku sendiri mengantar lukisan ini untuk menepati janji kepadamu meski tak mendapat balasan apa-apa.


Nyabakan timur, 2018



MALAM INI AKU MERINDUKANMU


Maaf, Hayaty
Malam ini tiba-tiba tanpa sengaja
Aku merindukanmu
Seperti puisi
Tiba-tiba ingin kutuliskan

Bila engkau juga rindu
Jangan ragu, baca sajak-sajakku
Sambil membayangkan di depanmu ada aku
Sedang tersenyum mendengarkan suaramu

Tapi jangan kau tatap mataku
Baca saja terus puisiku
Sebab tak ada yang dapat kau tangkap
Kecuali hanya bayang-bayangku

Maka bacalah, Hayaty, jangan ragu lagi
Melebihi mantra-mantra pengasih
Sekali kau baca, kekasih
Sajak-sajakku akan menghapus
Keraguan, kerinduan dan kecemasan-kecemasan
Yang memburamkan cermin cintamu

Bahkan melebihi tajam panah dewa Amor
Sekali kau kena, kekasih
Daging cintamu yang tertusuk
takkan berhenti mengalirkan rindu

Namun, soal rindu
Ternyata aku dilanda duluan

Annuqayah, 2019 M.



HARI PERTAMA MENGENALMU
; Instika
Pagi menghapus ruang-ruang kebebasanku
seperti matahari mengurai ruang-ruang kegelapan
lelap malam telah hilang bersama bintang
dan burung-burung melepas lelahnya ke udara
setelah berkicau memanggil letupan doanya
yang diluncurkan semalam

Pagi ini hari pertamaku mengenalmu
cekam getir cukup menjadi getar embun
yang sebentar lagi jatuh dari cangkang rumput
sedang sisa airnya menjadi berlian
kemilau dalam gemerlap semburat matahari

O... kehangatan yang sempurna
kesejukan daun-daun meneduhiku selalu

Sungguh, pagi ini engkau angin
membelai pipi dan ubun-ubun

Ordik, 2018 M.



HARI KEDUA MENGENALMU
; Instika

Hari kedua, pagi berwarna kelabu
awan sisik-sisik ikan rapi berbaris di cakrawala
mendung sedikit menggelapkan warna cahaya
seperti wajah mereka dilumuri cekam
kemudian dihembuskan ke hati setiap orang

O... sia-sia Tuhan mencipta waktu
mereka menggenggamnya dengan lunglai
hanya pura-pura memakai
langkah-langkah bagai rumah-rumah ditinggal penghuninya
dan waktu tetap membakar usia
tanpa asap mimpi dan doa

Hari kedua mengenalmu
engkau makin mendekat ke hati
aku pun melihat dan mengerti
matahari dengan segala keagungannya
disembunyikan di balik pintumu
Dan mereka hanyalah penjaga-penjaga
yang diutus untuk bermain-main semata

Ordik, 2018 M.



HARI KETIGA MENGENALMU
; Instika


Hari ketiga mengenalmu
aku telah berada di tengah beranda
penjaga-penjaga di depan pintumu
yang menghembuskan cekam ke udara
yang kukira suara-suara tak berbahasa
bukan dendam luka sampah pada rahim alam
Mereka layaknya metafor-metafor liar
yang pengertiannya hanya bisa didapat
di kedalaman perenunganku
Sebab, hati mereka yang suci
menyimpan telunjuk sang nabi

Kemudian, kubuka pintumu
aku melihat doa-doa para masyaikh
seumpama bintang-bintang di langit malam
dapatkah kudongakkan kepala dan mengucap amin?
Aku mencium aroma ayat-ayat para nabi
menyemerbak ke udara
dapatkah aku menghirupnya ke dalam kalbu?

Tiba-tiba harapan-harapan di dada menyala
membakar pertanyaan-pertanyaanku

Ordik, 2018 M.


Tentang penulis;

Ahmad Nyabeer adalah nama pena dari Ahmad Fawa’id.  Mahasiswa INSTIKA. Aktif di Komunitas Persi. PP. Annuqayah daerah Lubangsa guluk-guluk Sumenep.

Tidak ada komentar