HEADLINE

DEAR GIVIA_Cerpen Indah Devi A(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.



Aku meneguk soda berwarna merah di gelasku sekali lagi, kini gelas itu hanya menyisakan kekosongan. Rupanya aku sudah lama duduk memandangi kerlap-kerlip lampu yang menyorot pembawa acara di acara reuni akbar kuliahku. Sudah tujuh tahun aku tidak bersua dengan teman-teman lamaku yang pernah berjuang bersama, terlilit tugas dan tanggungjawab dari dosen yang tiada henti-hentinya. Hanya dua orang saja yang masih mengingatku dengan detil, dua orang sahabat yang meskipun kini terhalang jarak, tetapi tetap melanjutkan cerita masa remaja hingga kini masing-masing sudah berkeluarga. Ramai sekali acara malam ini, hampir semua temanku sudah membawa rombongan keluarga berisi suami,istri dan anak-anaknya yang bertingkah lucu,menggemaskan. 

Pandanganku kini berganti, pemandangan yang cukup sendu aku rasakan.
Aku bangkit dari tempat dudukku, memperbaiki rok panjangku yang agak terinjak heels 5 cm ku dan memasang senyuman kepada seorang laki-laki. Teman lamaku. Kini ia sudah sampai di hadapanku, mengulurkan tangan kanannya mengajak bersalaman, sedang tangan kirinya menggandeng putri kecil yang cantik dan agak malu-malu melihatku. Aku membungkukkan badan sesaat setelah melepas jabat tanganku, mendekati putri kecil yang kini semakin terlihat kecantikannya.

“Halo, namamu siapa sayang?”seraya menyentuh pipi lembutnya. Aku menunggu waktu yang agak lama untuk mendengar suaranya.

“Givia, Tante,” jawabnya lirih sampai-sampai aku harus mendekatkan telingaku ke bibir mungilnya.

Aku beranjak bangkit dan memandang laki-laki itu sambil tersenyum.

“Nama yang bagus,” ucapku padanya.

Acara puncak belum juga digelar, waktu masih menunjukkan pukul 9 malam. Acara berakhir pukul 11 jika tidak terlewat. Aku kembali duduk, tetapi di kursi yang berbeda. Aku memandangi teman-temanku yang asyik berfoto di photobooth yang sudah disediakan panitia. Ada yang berfoto sendirian, berfoto dengan pasangan, bahkan beramai-ramai satu keluarga sampai-sampai membuat photobooth terhalang dan tidak terlihat. Aku sendiri tidak tertarik. Aku duduk sendirian mengamati keadaan di sekitarku. Acara malam ini aku harap dapat menjadi pelarianku setelah berjibaku dengan pekerjaan di kantor yang membuat pening kepalaku akhir-akhir ini. Kedua sahabatku sudah memberi kabar, mereka tidak bisa datang dengan beberapa alasan yang klise tapi masih bisa aku terima. Seseorang dari jauh terlihat mengamatiku, aku menatap dia lamat-lamat yang perlahan menghampiriku. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi besar dengan rambut yang tidak pernah acak-acakan, aku mulai teringat. Rio, teman seangkatanku yang dulu sempat menyatakan perasaannya padaku di dekat perpustakaan kampus, tapi aku menolaknya. Ia duduk di sebelahku, melempar senyumnya yang cukup manis kurasa. Kami mulai membuka obrolan, satu dua hal obrolan-obrolan umum, seperti kabar, pekerjaan, tempat tinggal, dan lainnya.

“Kamu masih betah?” tanyanya membuatku agak bingung.

“Disini ? Tentu saja.” Jawabku seadanya.

“Bukan, bukan tentang acara ini. Tapi kesendirianmu." Ia mulai hati-hati saat mengucapkan kalimat itu. Semilir angin mengibaskan rambutku yang aku gerai. Acara reuni memang digelar outdoor di sebuah taman yang tidak terlalu luas, udaranya cukup segar dan malam ini langit cukup cerah dengan bulan yang sedang merekah. Aku hanya menghela napas panjang, tidak memberikan jawaban. Kami kembali terdiam dan menatap bayang-bayang pembawa acara yang terhalang lalu lalang keramaian pesta reuni malam ini.

Aku tidak mengelak, orang-orang sudah sering menanyakan kesendirianku, pertanyaan yang kurasa tidak ada ujungnya karena aku belum menemukan jawaban yang tepat. Umurku hampir 30, tentu orang-orang akan mulai menanyakan kabar asmaraku. Aku masih terdiam, aku menatap Rio yang agaknya menanti jawaban dariku.

“Ya, Aku masih senang seperti ini,"sahutku tersenyum. Aku rasa aku tidak memberikan jawaban yang memuaskan untuk Rio, ia hanya mengangguk mengiyakan. Dia datang sendirian di pesta reuni malam ini karena aku belum mendengar kabar pernikahan maupun pertunangannya. Jadi kami masih sama-sama sendiri, tetapi bukan berarti aku akan memberikan jawaban ya kepadanya jika suatu waktu ia kembali mengungkapkan perasaannya. Mungkin aku terlalu percaya diri akan hal itu, tapi sorot matanya tidak bisa membohongi perasaannya kepadaku, sorot mata yang sama yang aku lihat di dekat perpustakaan bertahun-tahun lalu.

“Masih terjebak dengan masa lalu ?” Rio bertanya menegaskan.

Aku pikir tidak hanya Rio yang berpikir demikian, sahabat-sahabatku pun juga pernah menanyakan hal yang sama kepadaku. Sekali lagi, aku belum menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Lagi-lagi aku kalut dalam pikiranku sendiri. Mataku mulai tidak bisa diajak bekerjasama, mataku mulai berkaca-kaca dan akhirnya air mata pertamaku jatuh tepat saat Rio menatapku. Dari tatap matanya ia terlihat menyesal dan ia masih terdiam dalam kepanikan.

“Aku tidak apa-apa,” ucapku segera agar Rio tidak terlalu panik. Aku menangis lagi untuk mengenang luka yang sudah kusimpan rapat-rapat. Otakku akan dengan mudahnya memutar memori masa laluku yang cukup rumit dan melelahkan untuk diceritakan.

***
Tujuh tahun sebelum reuni akbar diadakan, aku menjalani perkuliahan di kampus dengan penuh canda dan tawa meskipun harus menangis di ujung semester karena tugas akhir yang rasanya hampir mencekikku. Menjalani 4 tahun perkuliahan membuatku merasakan homesick terparah karena rindu dengan keluarga, tetapi akhirnya mengajarkanku kemandirian dan kedewasaan. 4 tahun menjalani perkuliahan juga mengajarkanku arti persahabatan dan patah hati. Patah hati terhebat aku rasakan sesaat setelah aku meninggalkan bangku perkuliahan.

Aku menjalani kisah cinta layaknya anak ABG karena ini adalah kali pertamaku memiliki kekasih. Kekasihku, dialah laki-laki yang aku temui secara tidak sengaja saat aku hendak ke parkiran kampus untuk mengambil kunci motorku yang masih menempel. Kami hanya melempar senyum seadanya, dia adalah temanku di jurusan yang sama. Aku tidak tahu jika ia menyukaiku sejak saat itu, hingga akhirnya kami mulai memadu asmara di tahun kedua kuliah. Aku selalu berpikir dan berharap ia akan menjadi cinta pertama dan terakhirku. Ia sempat menjanjikan pernikahan yang saat itu masih sangat tabu untuk aku iyakan. Waktu berjalan begitu cepat, ia lulus terlebih dahulu dengan waktu yang cukup cepat dan mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Meskipun begitu, ia tetap meluangkan waktu untuk menemuiku, mengajariku untuk mengerjakan tugas-tugas, dan menjadi tutorku saat aku mulai was-was dengan tugas akhirku yang tidak kunjung terselesaikan. Ia sangat berjasa dalam urusan akademik dan kehidupanku. Ia adalah orang yang sangat tepat dan melekat dalam hatiku, ia adalah orang yang belum sempat aku bayangkan sebelumnya, tetapi sudah terwujud tanpa aba-aba.

Satu minggu sebelum kekasihku wisuda, kami jalan-jalan berkeliling kota, menikmati malam yang kian hangat, berhenti sejenak untuk membeli kopi susu di warung kopi dekat perempatan alun-alun kota, melanjutkan deru motor menuju tempat yang kami suka, rumah pohon yang ada di dekat taman kota. Di rumah pohon itu, kekasihku sempat melontarkan keinginannya untuk menua bersamaku, membangun mimpi-mimpi sepasang burung merpati, yang akan bersama sampai mati. Jantungku berdegup kencang tiap ia melontarkan keseriusannya, hatiku kian menyala, merangsang otak yang memaksa bibirku tidak berhenti tersenyum di hadapannya.

Satu hal yang aku lupa setelah sekian tahun lamanya aku memadu cinta. Aku belum pernah sekalipun bertemu dengan orangtuanya. Ia belum pernah mengajakku singgah ke rumahnya, hanya sebuah alamat yang pernah ia sodorkan kepadaku. Sedangkan ia, hampir setiap hari menyambangi rumahku, ayah dan ibuku sudah sangat mengenalnya, mereka memberikan sinyal yang baik untuk hubunganku dengannya. Ketakutan dan pikiran negatif mulai menghantuiku. Aku takut jika akhirnya aku tidak bisa bersamanya karena terhalang restu.

Malam itu di rumah pohon yang tersinari cahaya bulan purnama, aku bersandar di bahunya, ia memegang erat tanganku, ia memulai candaan-candaan tidak bermutu yang tetap berhasil membuatku tertawa lepas. Sudah hampir 3 tahun aku menjalani kisah cinta dengannya, tidak ada rasa bosan yang hinggap di hari-hariku ataupun hari-harinya. Aku melewati masa-masa yang indah yang berhasil ia ciptakan tanpa paksaan. Sudah hampir 30 menit aku bersandar, rasa kantuk mulai menghampiriku, ia mulai mengajakku bangkit untuk bergegas pulang.

“Menurutmu, kalau kita nanti punya anak, apa nama yang akan kamu berikan kepadanya?”tanyanya tiba-tiba saat aku menuruni anak tangga terakhir dan membuat kantukku lenyap seketika. Aku agak grogi akibat pertanyaannya yang cukup membelalakkan mataku.

“Hmmm..........” Aku berpura-pura sedang berpikir keras, sebenarnya aku punya sebuah nama yang sempat aku bayangkan dulu, tetapi bukan untuk menamai anakku kelak, hanya untuk menamai kucing yang hendak aku adopsi tetapi gagal karena sudah diadopsi orang lain.

“Aku tidak tahu, ayo kita pulang.” Jawabku seraya mengangkat bahu dan segera memakai helm yang tergantung di kaca spion motor.

“Tapi menurutmu, Givia, bagus tidak ?” Akhirnya aku menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum dan mengangguk.

“Apa artinya ?”

“Givia, artinya pemberian”

“Given, tapi aku modifikasi dengan menambahkan Via di belakangnya agar sama dengan nama panggilan ibunya. Oh ya, G adalah huruf ke tujuh dalam abjad dan aku menyukai angka tujuh, kamu tahu itu kan ?”

Obrolan kami berlanjut di atas motor, motornya kembali menyapu jalanan yang sudah kami lewati saat berangkat tadi, angin malam mulai terasa menusuk kulit, menerpa wajahku yang sekarang terasa membeku.

***
Jam sudah menunjukkan pukul 10.30, acara puncak akan segera digelar, panitia sudah menyiapkan banyak doorprize di atas meja, sepertinya berisi barang-barang kebutuhan rumah tangga yang bermanfaat untuk menambah koleksi barang di dapur atau mengurangi biaya membeli sabun cuci piring dan sabun mandi. Aku segera berdiri, memberikan tepuk tangan kepada pembawa acara yang sibuk bergumam melempar lelucon, Rio masih berada di sampingku. Ia tahu bahwa aku baru saja mengenang semua luka dalam hatiku, ia tahu bahwa aku baru saja bertemu dengan gadis kecil bernama Givia, seorang anak dari laki-laki yang akhirnya tidak menjadi milikku karena terhalang ketakutan yang dulu sempat aku bayangkan. Setidaknya melalui acara malam ini aku tahu bahwa mantan kekasihku masih mencintaiku, ia melekatkan cintanya padaku melalui sebuah nama yang indah yang ia sematkan kepada anak gadisnya. Aku akan membiarkan ia mencintai putri kecilnya selayaknya ia pernah mencintaiku.

Ponjong, 19 September 2019


Tentang Penulis :

Indah Devi A seorang perempuan berusia 22 tahun yang kini tinggal di Yogyakarta, memiliki hobi menulis sejak duduk di bangku SMP dan bermimpi menjadi penulis hebat.

Tidak ada komentar