HEADLINE

PULANG_Cerpen Ariani Rosa Lesmana


Dia, Andre, temanku sebangku sejak kelas 1 SMP, anak yatim yang tinggal bersama ibu dan dua orang kakaknya. Ayah Andre meninggal sejak Andre masih bayi. Kesulitan ekonomi kerap dialami keluarga Andre hingga tak jarang ia harus menunda pembayaran uang sekolah. Hari-hari ketika pulang sekolah Andre selalu membantu ibunya mengurus kebun kopi peninggalan  sang ayah. Kebun kopi inilah sumber mata pencaharian keluarganya.

Kepadaku Andre sering bercerita tentang cita-cita. Ia ingin menjadi orang kantoran. “Keren”, katanya. Andre sangat kagum dengan para pegawai negeri yang berpakaian rapi setiap hari, sepatu mengkilat, dan rambut yang disisir rapi. Namun, di satu sisi Andre juga kerap menunjukkan sikap pesimis mengingat keadaan keluarganya yang tidak memungkinkan. Andre selalu bercerita padaku di sela-sela istirahat kami di sekolah.

“Ta, apa mungkin ya aku bisa kuliah?” Tanya Andre padaku di siang itu.

“Tentu saja, Ndre. Kamu pasti bisa.” Dengan mata berbinar dan muka optimis kukatakan itu padanya. 

Andre lalu menatapku dari samping, ia tertawa, dan mendorong kepalaku dengan lembut, “Sok yakin ah kamu,” katanya. 

Aku tak pernah mematahkan semangat Andre. Selalu kukatakan pada Andre bahwa rezeki  selalu ada buat anak yang mau berusaha.

“Allah akan memampukan kamu, oh Andre yang baik.” Ucapku seraya menggodanya.

Andre tertawa, lalu, “Sip!” Ia mengangkat kedua jempolnya. 

Andre dan aku terima PMDK, tapi universitas dan jurusan kami berbeda. Kami terpaksa berpisah. Aku melanjutkan kuliah di kotaku dengan jurusan sesuai anjuran Andre, FKIP Universitas Lampung Program Studi Bahasa Inggris. Biar anakku pintar Bahasa Inggris katanya, sedangkan Andre masuk Fakultas Teknik UGM dengan jurusan Teknik Kimia. Mau tidak mau kami harus berpisah, tidak ada lagi teman sebangku yang kadang melankolis, kadang ceria, dan terkadang jahil luar biasa. 

*******

Satu jam berlalu sejak Andre tiba di rumahku, tapi tak sepatah katapun ia ucapkan. Aku juga begitu. Masing-masing seolah hilang keceriaan di siang itu. Kami larut dalam kesedihan, padahal nasib baik sedang ada pada kami, terima di perguruan tinggi negeri, impian semua anak SMA. Praktis pertemuan siang itu berubah, tidak seperti biasa yang diwarnai dengan keceriaan, kejahilan, canda tawa, atau diskusi serius tentang cita-cita. Suasana begitu kaku, seperti orang yang habis bertengkar dan tak ada yang mendahului ngomong.

Namun, ketika hendak pulang Andre berkata, “tunggu aku! Aku akan kembali. Jangan pernah bersedih!” 

Aku menangis. Tidak ada yang bisa kukatakan saat itu. Bagaimana mungkin aku akan menjalani hari-hari seorang diri tanpa teman yang kerap menemani ketika aku ke kantin, ke perpustakaan, atau ketika aku memiliki keperluan lainnya.

“Mengapa menangis? Apa Kau sedih karena sekarang tak ada orang yang menemanimu makan bakso di pojok pasar?” katanya seraya menggodaku. Seketika kami tertawa. Dalam tangis masih tak bisa kutahan tawaku mengingat tingkah konyol yang kami lakukan saat kelaparan di tengah pasar, waktu mencari tepung dan telur untuk menyiram Ana di hari ulang tahunnya. 
Andre tersenyum dan menyentil ujung hidungku yang mancung, “Sudah jangan menangis! Tersenyum!” Katanya sambil berjalan menuju pintu.

*****

Aku mulai kuliah, mulai menjalani hari-hari tanpa teman yang selama enam tahun ini mengekor padaku. Entahlah! Andre yang mengekor padaku atau aku yang mengekor pada Andre. Sudah tak bisa dibedakan lagi siapa pengikut dan siapa yang mengikut. Hari-hariku berjalan baik. Meski tak ada Andre, mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, mencari referensi, semua kujalani kadang sendiri, kadang bersama teman baru, teman yang kutemui di tempat kuliah.

Ketika itu hidupku khusuk. Fokus pada tujuan yaitu selesai kuliah dengan baik sebelum akhirnya pikiranku kacau, terkontaminasi oleh racun yang menjadi fakta hidup yang harus kuhadapi. Beberapa kali teman lelakiku datang dan ingin menjadikan aku kekasih, tapi aku dengan baik-baik mengatakan tidak. Kukatakan terus terang bahwa aku harus setia pada Andre, temanku yang kini kuliah di UGM. 

Namun, di antara mereka ada juga yang bertingkah aneh dan membuatku terjebak pada keanehan itu. Dia, Johan, kakak tingkatku, yang sekali waktu memintaku untuk berperan sebagai kekasih di depan teman-temannya, tapi di lain waktu ia akan mengatakan sebuah kepastian bahwa kami hanya berteman, tak lebih dari itu.  

“Eh, ntu ada si Boy. Tolong ya, nanti bilang aja kamu pacarku.” Kata Johan padaku.

Belum sempat aku menjawab, Boy telah berdiri di depan kami, “Hei, selamat ya! Jadian nggak ngomong-ngomong, nih.”

Aku melongo. Selintas kulihat Johan senang sekali dengan ucapan Boy. Namun, selang beberapa saat Johan minta maaf, “Maaf ya! Aku senang aja ngekiin Boy. Biar aja dikiranya kita sudah jadian.” 

Aku hanya tersenyum. Pikiranku netral, tak ada yang perlu kurisaukan, sikapku jelas pada Johan. Tiga hari yang lalu sudah kujelaskan posisiku, ketika ia menyatakan cinta padaku. Tegas kukatakan aku tidak bisa menerima. Lagi-lagi, aku tidak mau menghianati Andre.

Andre jarang sekali mengirim surat padaku, apalagi meneleponku, nyaris tak pernah. Namun, aku selalu meyakinkan hatiku, uang yang dia punya tak cukup untuk meneleponku. Selama setahun itu hanya sekali dia menyuratiku. Jelas komunikasi kami terputus, tapi aku tak goyah. Aku ingat apa yang dia katakana saat terakhir kami bertemu, “Tunggu aku! Aku akan kembali. Jangan pernah bersedih! Tersenyumlah!” 

*******

Johan memanfaatkan kondisiku. Saat komunikasi kami terputus. Berkali-kali ia memengaruhiku untuk melupakan Andre. 

“Eh, Ta, kamu realistis aja deh. Ngapain kamu capek-capek nungguin siapa tu, pacarmu yang jauh, yang katanya kuliah di Jogja. Mana mungkin ada laki-laki yang bisa berjauhan sama ceweknya di zaman kayak gini.” Johan agak superior padaku. Lalu tiba-tiba Deden, teman kos Johan lewat. Johan lagi-lagi minta aku mengaku pacarnya.

“Tu, Deden teman kosku, nanti bilang aja kita pacaran ya,” pinta Johan padaku. 

Aku diam tanpa ekspresi, tidak meng-ya-kan juga tidak berkata jangan. Ini adalah yang kesekian kali Johan minta aku mengaku sebagai pacarnya. Terus terang aku mulai risih. Dan tak kuduga, teman-teman kuliahku semua tahunya kami pacaran. 

“Apa maksud ini semua?” Aku bertanya pada Johan.

“Tenang, Ta. Talita, denger deh, saya minta maaf. Kita tetap berteman, nggak lebih dari itu. Saya hormati  kesetiaanmu. Tapi izinkan saya bersamamu. Kita berdua bisa bersama, sejajar seperti rel, tapi tak pernah bersatu.” Johan lagi-lagi minta maaf dan memastikan bahwa kondisi yang ada saat ini tak lebih dari setingan belaka. Dan ketika semua orang berhasil ia kelabui dengan mengaku pacarku, aku tak lagi fokus pada Andre. Aku sungguh kecewa pada sikap Johan, tapi hebohnya teman-teman membuatku mau tak mau berkata, “ya.” Dalam hati aku mengutuk, “Kau tega, Johan. Kau giring aku dalam kondisi ini.” 

Mengenal Johan menjadi awal kekacauan dalam hidupku. Aku tak sempat lagi berpikir tentang Andre. Aku sekarang sibuk dengan tingkah Johan yang dalam banyak hal justru membuatku menangis. Ya, aku menangis, ada sesal di hati mengapa harus bertemu orang seperti ini. Aku menangis ketika tingkah superiornya terhadapku muncul, membuatku tak punya pilihan untuk diri sendiri. Di satu sisi aku berpikir betapa jahatnya Johan, di sisi lain aku tak bisa berbuat apapun untuk lari dari kondisi ini.

Ketika suatu kali aku protes, ia akan mengatakan, “Kamu berani bilang gitu sama saya karena kamu menutup diri dari saya, yang ada di otakmu hanya Andre Andre dan Andre. Plis, deh, Ta. Berpikir realistis. Sampai sekarang aja Andremu itu tak pernah megirim surat atau telepon.” Begitulah, Johan sering mengatakan Andre tak punya perhatian, bahkan ada kalanya ia mencaci maki Andre. Saat cemburunya datang, ia akan memaki-maki Andre, padahal aku tak pernah mengaitkan Andre dalam masalah ini. Dia tak kenal sama sekali dengan Andre, tapi nama itu seolah ancaman besar baginya.

“Sudahlah, Ta! Tolong si, jangan lagi sebut Andre di depanku.” Pinta Johan.

“Apa urusanmu!” Aku menangis dan hari itu kutumpahkan amarahku pada Johan. Marah yang empat tahun ini kutahan demi menjaga kebaikanku. Sekarang aku tak lagi peduli, aku marah!”

“Kamu gila!” katanya sambil membentakku di ruang tamu ibu kosku.

“Kamu tak bisa memperlakukanku semaumuuuu!” aku nyaris lepas control dan tak bisa menahan emosi.

“Kamu…. “ Johan hendak melontarkan cacian untuk kesekian kalinya padaku. Tiba-tiba, “Assalamualaikum.”, sebuah suara yang tak asing bagiku. Di depan pintu Andre berdiri, aku segera berlari mendekatinya.Andre telah mendengar pertengkaranku dan Johan, ia pun mendengar caci maki yang dilontarkan Johan terhadapku juga terhadap Andre. Andre segera menarikku. Ia menenangkan aku, “Tenang, Ta. Aku pulang menunaikan janjiku. Jangan takut, ok!”

 “Maaf, Bung. Kenalkan saya Andre, calon suami Talita. Insyaallah saya pulang untuk menjemput Talita.” Dengan tenang dan penuh kedewasaan Andre bicara pada Johan.

Tentang Penulis:Ariani Rosa Lesmana. Guru bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Liwa Lampung Barat. Tinggal di Jl. Sersan Sulaiman No. 56 Simpang Serdang kec. Belik Bukit kab. Lampung Barat. Seorang pegiat literasi di Lampung Barat. Tergabung dalam Tim Gerakan Literasi Daerah (GLD) Lampung Barat, sebagak wakil ketua bidang komunikasi dan informasi.

Tidak ada komentar