HEADLINE

TENTANG SEBUAH KEINGINAN DAN KEBUTUHAN_Cerpen T Fathimah (Sastra Pinggir Kota)


Rasanya tidak ada yang lebih menyebalkan lagi, ketimbang harus berjalan di bawah terik, dengan satu kantong keresek besar menyelip di antara jari-jari sendiri. Belum lagi dengan jarak pusat penampungan sampah yang masih jauh, serta baunya yang begitu betah berlama-lama berputar di hidung.

“Mau ke mana, Neng?” seorang ibu-ibu berdaster hijau-hitam, dengan gambar bunga berantakan menyapaku. Apa dia tidak melihat apa yang kubawa? Atau sengaja meledekku? Rasanya ingin bertanya pula untuk apa dia membawa sekeresek sayuran.
“Ini Bu, biasa tugas rumah.” Aku menjawab ramah. Sebisaku.
“Oh begitu. Ya gimana lagi sih. Sabar aja ya, Neng.” 
“Iya Bu pasti. Saya permisi dulu.”
“Iya iya silakan.” Ibu-ibu tersebut hilang di balik gerbang bercat putih, dan aku segera bergegas agar menyelasaikan tugas menyebalkan ini.

Yah, semua penghuni komplek ini tahu betul. Aku satu-satunya orang yang hanya bisa di andalkan, apalagi untuk urusan pekerjaan rumah. Dulu sih itu semua ibu yang melakukan, sebelum dia dipinang oleh malaikat maut. 
Sekarang, beban ditumpuk hanya pada kami berdua. Aku dan ayahku seorang. 
Kantung keresek hitam yang dari tadi kubawa sedikit kulempar sebelum tepat mendarat di atas tumpukan keresek lainnya. Tangan kiri sibuk menutup udara busuk yang mencoba melewati hidung dan kubalik badan untuk bergegas pulang.


“Ayah berangkat dulu, Re. Kalau mau makan, kamu masak mie dulu saja ya.” Tanpa menunggu jawabanku-dan memang aku tidak niat menjawab apapun, mataku hanya mengekor pada punggungnya sebelum ayah hilang dibalik daun pintu. 
Selalu saja begitu. 
Aku menggerutu.

Waktu sudah menunjuk tengah hari, dua jam lalu aku meminta kedua temanku untuk datang ke rumah. Tapi budaya mereka tetap sama saja, ngaret dari waktu yang sudah dijanjikan. Sebenarnya tidak ada agenda apapun, tapi setidaknya mereka yang lebih banyak menemani waktuku ketimbang ayah sendiri.
“Re! Rere!” suara cemprengnya berhasil menyentakku, itu pasti Dewi. 
Kuintip dari jendela, benar saja. Dewi dengan Lesti baru saja sampai. Tanpa basa-basi setelah kubuka pintu, mereka nyelonong masuk tanpa permisi.
“Teriak-teriak aja kayak orang demo. Gak pake salam lagi.”
“Assalamu’alaikum,” jawab keduanya cepat-cepat dan tidak aku tidak menggubris sedikit pun.
“Air dong, Re.” Dewi memerintah dengan cengiran khasnya itu. Meski kadang menyebalkan, dan karena aku baik hati. Ya namanya juga tamu.
“Baik nyonya,” jawabku dengan badan sedikit membungkuk, dan dibalas cekikan mereka.

Tiga gelas jus orange dan sepiring kue aku bawakan untuk mereka. Camilan selalu tersedia di dapur, karena Ayah lebih suka menghabiskan sorenya dengan secangkir kopi dan rokok daripada menghabiskan camilan kue seperti ini bersamaku. Sejak kematian ibu, kami memang seperti orang asing. Menyapa seperlunya saja.

“Eh, Re, baca deh.” Dewi menyodorkan smartphone-nya padaku, memperlihatkan foto sebuah poster bernuansa ungu. Di bagian atas tertulis pencarian ajang bakat menari.
“Kamu kan suka menari tuh, dicoba aja gih.” Mataku berbinar, ini kesempatan terbaik untuk memperlihatkan kemampuanku dan menjadi sorotan banyak orang. Namun, pertanyaan Lesti sedikit menganggu pikiranku.
“Tapi, apa ayah kamu setuju? Bukannya ....” Sepertinya dia segan untuk melanjutkan. 
“Ah, itu biar jadi urusanku saja. Ayah memang tidak pernah mendukung apa yang aku lakukan, beda dengan ibu.”
“Mungkin ayahmu punya alasan lain, Re.”
“Alasan apa Wi? Supaya anaknya jadi kuper diam terus di rumah begini?” 
Dewi tidak lagi mau menyanggah, sedangkan Lesti pura-pura larut bersama ponselnya. Aku lempar pandangan ke luar jendela. Sedikit banyak aku tahu apa yang akan ayah katakan saat aku meminta izin tentang ikut kontestan menari ini.

Ayah datang, tepat ketika Dewi dan Lesti izin untuk pamit pulang. Mereka berpapasan di depan rumah.
“Permisi, Om,” sapa mereka, dan ayah menjawab dengan senyuman.

Setelah hampir satu jam tidak ada obrolan antara aku dan ayah, kecuali suara hewan-hewan khas menjelang malam. Sampai akhirnya aku coba untuk memberanikan diri, untuk meyakinkah ayah mengenai kontestan menari di sela-sela minum kopinya.
“Yah, minggu depan ada ajang pencarian bakat menari.”
“Iya lalu?” tanya ayah tanpa menoleh.
“Kasih aku izin untuk ikut, Yah.”
Ayah tidak menjawab, matanya hanya melihatku seperkian detik, berdiri lalu beranjak.
“Di mana tempatnya?” 
“Aula desa, jadi ....” belum saja sempat aku bertanya, ayah sudah melenggang pergi keluar, “ck. Sialan.” Aku mendesah kesal.

Siang ini, tepat hari pendaftaran untuk mengikuti kontestan lusa nanti. Kalau bukan karena nekat, aku tidak akan berdesak-desakan hanya untuk selembar formulir. 
Melihat persyaratan tiap poinnya, sepertinya aku mumpuni, kecuali hanya satu, izin tertulis dari pihak keluarga. 
Syarat macam apa pula ini? 
Mau tidak mau, aku harus mencari cara agar ayah sudi memberikan izin tertulisnya.
Hanya saja, ayah seorang yang keras kepala. Beberapa kali kubujuk ayah tetap tidak mau membubuhkan coretannya untuk menyetujui. Sampai tersirat berfikir aku akan memalsukan saja untuk izin yang satu ini.
Dan benar-benar kulakukan.

Hari berikutnya, formulir sudah masuk ke meja panitia. Tapi tak ada panggilan. Satu-satunya cara adalah kembali ke Aula desa dan menanyakan perihal ini.
Mereka bilang, ada seseorang yang menggugat formulirku dengan menyerahkan beberapa bukti tulisan. Karena memang tulisannya berbeda dan didukung dengan beberapa bukti, dengan terpaksa panitia mencoretku dari daftar peserta yang telah lolos seleksi sebelumnya.
Dan baiklah, aku pulang. Segera.

Ayah tersentak saat pintu rumah aku buka keras-keras. Tanpa ada aba-aba aku memprotes apa yang ia perbuat.
“Ayah! Ayah sengaja ya supaya aku gak ikut seleksi nari?” intonasiku sedikit tinggi, ayah semula hanya melihat heran tapi kemudian matanya kembali fokus pada koran di tangannya.
“Jawab, Ayah!”
“Kamu gak butuh itu.”
Demi mendengar jawaban ayah, pipiku banjir air mata.
“Tapi itu mimpi Rere,” jawabku dengan terisak, rasanya kepalaku dibebani besi puluhan kilo beratnya. “Sebelumnya apa Ayah peduli sama apa yang aku lakuin? Tapi kenapa sekarang begini? Aku gak nyangka Ayah tega hancurin mimpi anaknya sendiri.”
Tanpa peduli lagi panggilan ayah, aku mengunci diri di kamar. Menyumpahi segala perbuatannya yang sudah menghancurkan apa yang aku mau. 
Pikiranku meloncat lagi ke tahun-tahun belakang. Di mana aku masih sibuk mengikuti privat menari, berolah raga keras, hingga mencuri waktu senggang hanya untuk sekedar mengikuti gerak tarian film Bollywood. Namun sepertinya semua usahaku harus ditepis hanya karena keegoisan ayah seorang.

Sudah hampir tiga hari, perang dingin antara aku dan ayah terjadi. Jika ayah bertanya aku hanya menjawab sekenanya saja, atau bahkan memilih pergi. Terkesan antagonis sekali bukan? Tapi aku harap, dengan begini ia tahu bahwa aku sudah tidak peduli lagi dengan apa pun yang akan diputuskannya atas diriku.
Seperti wayang yang menunggu arahan dalang saja. Dimainkan sampai rusak! 

Seperti sore ini, aku hanya bermalas-malasan di sofa ketika ayah baru pulang dari pekerjaannya. Bajunya terlihat lusuh dijemur matahari, wajahya sudah lengket dengan keringat. Matanya tetap terlihat keteguhan meski lelah. 
Aku beranjak, dan bergegas untuk bertemu teman-temanku.

Bersama mereka tidak ada yang aku sembunyikan. Termasuk permasalahan antara aku dengan ayah. Meskipun Dewi dan Lesti terkadang menyebalkan, tetapi hanya mereka yang paling mengerti.
Entah bagaimana jika tidak ada mereka dalam kehidupanku sekarang. Sejenak, aku tatap mereka yang asyik berbincang tentang idola masing-masing. Ada sesak yang menjalar hingga ke dada, aku rindu ayah!
Bergegas aku pulang, tanpa harus aku katakan kenapa kepada mereka. Yang aku ingin, sampai di rumah dan memeluk ayah, meminta maaf atas rasa tidak peduliku akhir-akhir ini.

“Ayah?” tak ada jawaban selepas aku membuka pintu. Ruang tamu terlihat lengang, begitu juga ruang tamu. Aku terus memanggil tak ada tanda-tanda sosok ayah akan muncul.
Apa dia marah karena sikapku? Lalu pergi entah kemana?
Ya Tuhan, kumohon.
Lututku rasanya lemas sekali, suara isakanku lebih nyaring ketimbang suara detak jarum jam dinding.
“Kamu kenapa, Re?”
Aku berbalik cepat ketika ayah baru saja muncul di belakangku. Rasanya aku ingin memeluk saja, tapi tubuhku tiba-tiba saja memiliki akar yang tembus hingga ke ujung bumi. Aku hanya menangis dan menangis.
Lemah! Pikirku.

Setelah nafas lebih tenang, aku tidak menjawab sederet pertanyaan ‘kenapa’ dari ayah. Aku malah memintanya untuk bercerita tentang semangatnya selagi muda dulu. Sambil terus mengusap-usap sayang kepalaku, ayah bercericau tentang mimipinya yang sebagian lebih banyak gagal ketimbang terpenuhi.

“Apa Ayah tidak kecewa?” tanyaku dengan suara yang masih agak parau. Tapi usapannya membuatku jauh lebih nyaman sekarang.
“Tentu saja. Siapa yang tidak kecewa ketika mimpinya tidak tercapai. Kau pun begitu bukan kemarin?”
Aku hanya mengangguk lemah. Rasanya tidak perlu lagi membeberkan masalah yang sudah-sudah.
“Tapi Nak ...,” ayah terdiam, menghela nafas lalu melanjutkan, “ada beberapa mimpi yang kadang akan lebih baik jika kita ganti saja. Bagaimana caranya? Ya dengan menerima ikhlas akhirnya lalu mencoba kesempatan lain, di situ kamu pasti tahu, kenapa mimpimu gagal di waktu yang sudah-sudah. Ya, semua harus punya mimpi, cita-cita, keinginan. Tetapi saat ada satu yang tidak bisa kamu capai, bukan karena kamu gagal. Bisa saja, bukan itu yang lebih kamu butuhkan saat itu.”
Ayah terdiam lama kali ini, aku sendiri menjadi gusar.
“Kenapa diam, Yah? Ayok cerita lagi.”
“Re. Maafkan sikap ayah karena sudah menggagalkan rencanamu kemarin.”
“Itu sudah jadi masa lalu. Gak Rere ambil pusing lagi kok.”
“Apa Rere kecewa sama Ayah?”
Demi mendengar pertanyaannya, aku terduduk. Mencoba menata kata-kata agar yang meluncur keluar tidak membuatku renggang lagi dengan ayah.
“Awalnya Rere memang kecewa, tapi akhirnya Rere sadar. Memang bukan itu yang Rere butuhkan.” Aku tersenyum simpul, menebak pemikiran ayah.
“Iya karena Ayah tahu kepribadianmu seperti apa. Kamu baru saja kehilangan ibumu Re, Ayah cuma tidak mau kalau nantinya kamu kehilangan yang lain. Tahu apa itu? Teman-teman, kasih sayang mereka tidak kalah besar daripada Ayah untukmu Re.”
Aku peluk erat ayah, dan meminta maaf atas kesalahanku. 
Dan aku menangis lagi.
“Nah sekarang, kamu sudah tahu apa maksud Ayah. Mulai hari ini, berbahagia lah bersama sahabatmu, dan Ayah sudah tidak lagi melarangmu untuk mengikuti apapun. Tapi ingat, Ayah dan persahabatmu itu tidak akan bisa dibeli dengan mahar apapun. Jagalah.”

Setelah perkataan ayah terakhir tersebut, aku tidak lagi memaksakan kehendak. Tapi kekuatan cinta dan keridhoan dari Ayah tersebut, aku lebih mudah menggapai apapun yang aku mau.
Yah asal ayah mencintaiku dan mencintai pula apa yang aku mau, ajaibnya semua bisa di lewati dengan cara apa saja. Termasuk menjadi seorang dancer di komunitas ternama. Sungguh menakjubkan!

Tamat.

Tentang Penulis
T Fathimah, lahir di Desa Wanayasa-Purwakarta (1996). Mencintai dunia menulis dan bermimpi memiliki perpustakaan sendiri. Ia salah satu anggota dari Komunitas Sastra Simalaba

Tidak ada komentar