HEADLINE

PULANG_Puisi Munadi Embing (Sastra Pinggir Kota)



PULANG

Berkemaslah. Di sini tak ada sungai-sungai mengalir untuk membasuh hitam sejarah. 

Dan pulanglah. Tak ada salam dari mereka, seperti cicit burung gereja ketika kau membuka jendela. mereka terbiasa pikun dengan wajah-wajah kusam seperti kita.

Rawat jam-jam itu. Sebelum jarumnya berhenti dan tak pernah lagi melahirkan waktu. 

Dan pulanglah. Sebelum sisa koin di saku kita menggelinding tanpa arah. 

Banten, 2019

SELEPAS HUJAN

Di sebuah beranda, selepas hujan turun. Aku masih merekam jejak, harum kembang.

Hijau dedaunan, ranum buah masih menghuni pohon. 

Selepas hujan,
kosong taman. Sepi mengetuk khidmat doa. 

Banten, 2019

ASSYIFA

i
Kekasihku, 
Pernahkah kau tiba-tiba terjaga? 
mengingat sebuah nama, 
membaca ulang kembali telegram dariku
kemudian kupu-kupu mengentak dari dalam dadamu. 

ii
Atau kau tiba-tiba menjadi wanita melankolia
sembari menengok ulang sajak-sajakku
“If, aku masih setia di sini. Menanti aroma petrichor dan halus senyummu” 
dan sekali lagi kupu-kupu dalam tubuhmu mengentak.

iii
Di suatu malam aku sering terjaga
bukan karena suara kucing di atas loteng
batuk Pak Tua seperti bunyi kereta 
sesekali kutengok jam dinding.

iiii
Mencari derap, lembut bisikmu
kutengok lagi jam di dinding, jendela
di luar hanya ada angin beringsut
suara kucing yang masih. 

iiiii
Berkali-kali aku mencari
lembut bisikmu, halus senyummu
ternyata bersemayam di dadaku
merangkai doa, setangkai mawar.

Banten, 2019

SAD SATURDAY

Aku melihatnya
selepas berbicara dengan Tuhan 
ia seka air mata, memetik langit
lantas, dua lembar kertas ia terbangkan.

Aku tak sempat membaca tuntas
apa yang ada di dalam kertas itu
mungkin berbaris-berbaris doa
atau kenangan yang ia monolog kan. 

Seorang bocah sejak kelas satu
masih tetap sama kulihat 
bersandar di dinding surau
merapal sesuatu, memeluk kehilangan. 

Tak ada Sabtu untuknya
apalagi Minggu dalam matanya
menikmati ruang, waktu 
dalam dialog akhir pekan.

Baginya semua hari sama
menulis cinta, menitip pesan
atau menuang sendu 
seperti lirik-lirik aforisme-romantisme.

Sampai hari ini
ia tetap menulisnya
sebuah pesan, cinta
kepada Tuhan--untuk ayahnya.

Banten, 2019

DESAKU

Ia terus berjalan memunggungi tawa seorang bocah. Tanpa menoleh meski tawa-tawa bocah menjelma rengek.

Seorang bapak tua berkain lesu, kopiah hitam. merangkai dongeng-dongeng
seperti derit ekor pesawat yang berlalu lalang setiap malam tanpa henti.

“Hai masih maukah kau mendengar dongengku?” Tukas bapak tua itu. Sambil merapikan foto-foto di bola matanya yang terlanjur buram. 

“Kenapa sekarang tak ada nyiur melambai, atau rumput hijau alas kaki. Ketika memainkan bola?” tanya yang disambut lebar tawa bapak itu.

“Innocent dengan tanyamu itu. Lempar tanyamu pada pagar pembatas yang semakin lebar
dialah yang membuat sempit kerah bajuku. Dialah yang membuat nyiur hanya sebagai penahan debur ombak.” 

Barangkali hanya sepetak tanah yang tersisa untuk bapak tua itu dan orang-orang di desaku
tak ada lagi rangkaian bunga-bunga di pekarangan rumah
tak ada lagi capung-capung beterbangan sebelum pulang dan hilang ditelan malam.

Banten, 2019

Tentang Penulis
Munadi Embing, pemuda yang tinggal di Tangerang, Banten ini giat belajar puisi dengan bergabung sebagai anggota Komsas Simalaba, wilayah Jawa. Ia sangat berharap kelak bisa menjadi penulis yang ternama di republik ini.

Tidak ada komentar