HEADLINE

BILIK 701_Cerpen Q Alsungkawa (Sastra Pinggir Kota)


Diam, atau menyendiri, itulah caraku untuk berdamai dengan garis nasib rangkaian suratan takdir yang tersirat di seputar jejak pun seputar bangunan kokoh yang dihuni orang-orang dengan prinsip dan sudut pandang yang terkadang bertimbal-balik dengan logika. Terasing dari keramaian, memasuki wilayah sunyi, dimana dunia hanya bisa dirasakan dari sudut pandang tersendiri. Seperti halnya aku memandang dunia ini dari balik kacamata yang retak, retak oleh kepercayaan. Kepercayaan yang berkelana ke banyak pulau menunggangi pesawat imajinasi yang kulandaskan di sembarang tempat. Itulah dunia yang kujalani saat ini di bilik jeruji besi. Jerit pintu pintu berkarat telah akrab menyengat telinga disertai derap langkah kaki lelaki berkepala plontos, berwajah kaku, sungguh sesuatu yang membosankan.

“701, waktumu 30 menit!” Suara serak dari pemilik wajah dingin itu melontar kata.

Seorang wanita cantik sepertinya sudah lama duduk menunggu. Ia tersenyum manis ketika melihat kemunculanku. Aku segera duduk tanpa peduli pada gadis muda yang entah membawa kepentingan apa? Sehingga membeli beberapa menit waktuku kepada pengelola Lapas.

“Nama saya Yulyani Farida, mahasiswi semester akhir Fakultas hukum,” gadis muda itu memecah kesunyian dengan mengenalkan dirinya.

Aku hanya berdiam, hasratku dingin menanggapinya.
“Oke, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, karena ini berkaitan dengan skripsi yang sedang saya susun?” Kembali gadis di hadapanku mulai menajamkan pertanyaannya.

Aku tetap diam, hanya diam, namun gadis yang tampak cerdas itu tidak mudah menyerah begitu saja, ia berupaya dengan segala cara, dikeluarkannya sebungkus rokok lalu menyelai satu batang, menyerahkan padaku. Sedikit canggung tanganku menerima uluran rokok yang sudah nyala itu, tapi ia berikan dengan sedikit paksaan halus. Aku tertegun ketika menikmati hisap demi hisapan rokok, asap membumbung menjelajahi tiap sudut ruangan. Cukup lama waktu hanya tersita oleh diamku dan bujuk-rayu gadis yang baru kukenal itu. 

“Pulanglah. Terima kasih rokoknya” suara datarku sedikit mengejutkannya.

“Saya memohon pak, bantulah saya?” ucapnya setengah memelas.

“Tidak akan kau temukan suatu hal yang berarti di sini.”

Karena waktu nyaris finis, segera aku bangkit, menuju bilik tahanan.

“Terima kasih banyak untuk hari ini, besok saya kembali dengan lebih menguasai waktu lagi,” suara lembut itu menyatakan keseriusan.

Rupanya ucapan gadis itu tidak main-main, terbukti esok harinya, di jam yang sama aku dijemput kembali oleh Sipir, tetapi lelaki yang berwajah kaku itu tidak memberitahukan berapa waktu yang kupunya.

Di ruang khusus dan sepi, hanya gadis cantik yang kemarin, ia sibuk menyajikan makanan, aroma masakan menampar hidung begitu menggugah selera. Di sela senyum manis, sang gadis menyodorkan sepiring makanan. Sedikit ragu aku menerimanya, tetapi mata indah itu memberi isyarat ketenangan seperti sang surya yang baru terbit. Gadis berparas cantik pun ikut makan. Hal yang tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya, sehingga gadis cerdas muda berbakat sudi membawakan makanan lezat dan mengajak makan bareng di ruang lembaga pemasyarakatan (LP)

“Saya ke sini, dengan tujuan yang sama seperti kemarin?” di sela makan gadis itu melepaskan pembicaraan.

Sejenak aku hentikan menikmati hidangan, menatap wajah yang penuh harap di hadapanku, tetapi ia hanya membalas dengan senyuman.

“Apa keuntungannya buatmu, menggali kasusku?” singkat dan datar jawabanku.

“Sangat. Sangat berharga buat saya, ini menyangkut masa depan saya pak.”

Mendengar kalimat (Masa depan) aku jadi melunak sebab orang sepertiku tak memiliki masa depan, walaupun tiap detik berpikir soal kesempatan memiliki masa depan, tetapi apakah aku layak untuk kembali ke tengah masyarakat? Sedangkan aku seorang narapidana penyandang pasal 338.

“Berapa waktu yang kumiliki?” aku balik bertanya.

“Secukupnya pak,” timpalnya singkat sambil menghabiskan makanan di piringnya.

“Baiklah. Kita mulai dari mana?” akhirnya aku menyetujui.

“Santai saja pak, kita cukup banyak waktu,” ucapnya datar sambil menambahkan makanan ke piringku.

Aku lanjutkan menyantap isi piring, sesekali melirik ke arah gadis itu yang berupaya mengeluarkan alat-alat rekam dan buku dari tasnya.

Selepas makan, aku menyambungnya dengan menyalakan sebatang rokok. Setelah semuanya memungkinkan, gadis itu kembali pada tujuannya.

“Baiklah pak, semua sudah siap kita mulai dari awal,” ujarnya sambil menyalakan alat rekam.

“Apa yang ingin kau ketahui tentang aku?” aku balik bertanya?

“Baik pak, tolong ceritakan kenapa dan bagaimana sehingga bapak bisa mendekam di sini?

“Begini awalnya.”

*****
Kemarahan yang kau tinggalkan di ruang tamu, begitu kokoh untuk diubah menjadi kehangatan, berpasang kursi kosong, menggigil sebab penghuninya jauh berkelana di dalam pikiran masing-masing, saling meletakkan status bahwa ikatan sepasang suami istri, sedikit tergoda oleh rasa curiga atau sipat manja yang jarang terpenuhi, sehingga ia mengunci kamar, yang entah untuk berapa lama kata maaf itu mampu membuka pintu. Kita masih saja dibuai oleh pendapat sendiri-sendiri tentunya dengan pembenaran atau alasan yang telah direkayasa.

“Sudah terlalu lama kita membisu Katrina?” suatu ketika aku membuka pembicaraan.

“Tanyakan pada dirimu, mengapa itu terjadi!” masih dengan suara ganjil ia menjawab.

“Tak ada waktuhkah kita saling bicara?” kucoba tawarkan lagi sebuah perdamaian.

“Bukan kata-kata yang kita butuhkan, tapi suasana yang perlu diubah!” masih tetap belum reda nadanya.

Sebagai laki-laki yang kurang memperhatikan hal-hal kecil di rumah, lebih separuh waktuku tersita pekerjaan. Lalu apa yang membuatnya begitu sensitif? Sepertinya ini adalah pekerjaan tambahan bagiku, untuk lebih jauh menyelam ke dalam bahasa wanita.

“Setidaknya mari kita pahami apa yang membuat jarak di antara kita Katrina?” aku masih berupaya melontarkan percobaan lagi.

“Lakukan sesuai kehendakmu Mas!” suara di balik pintu itu tidak mengubah keadaan.

Usahaku sia-sia saja, lebih baik aku berkemas mencari alternatif lain guna membongkar kabut di kepala, mungkin dengan mengunjungi kedai kopi, mencari inspirasi baru agar bisa meringankan raut lusuh di wajahku.

“Sepertinya ada yang membawa mendung ke sini. Apa yang pantas untuk kusajikan di mejamu Al?” senyum yang khas pemilik kedai menawarkan dagangannya.

“Cukup sajikan saja kopi Lambar yang paling pahit bi,” aku coba melunasi tawaran dari pertanyaan si bibi.

“Sejak kapan lidahmu Al, berdamai dengan kepahitan?”

“Sejak gelapnya langit hinggap di bubungan rumah kami bi.”

“Ealaaah, ternyata sepasang haluan mulai berebut arah. Ini kopi pahitmu Al.”

“Terima kasih banyak bi,”

Si bibi yang cukup paham dengan raut kusam yang kubawa. Ia langsung menteror menggunakan celetukkan-celetukkan yang memojokkan posisi kenyamananku. Di sela membetulkan punggungnya di kursi. Si bibi memasang muka penasaran ingin lebih menggali jauh ke kedalaman hatiku.

“Al, seberapa jauh kamu mengenal bibi?”

“Kenapa bibi, pertanyakan itu?”

“Karena bibi, tahu kamu sedang diselimuti masalah.”

“Ah...! Bibi, masih seperti 5 tahun yang lalu, yang selalu haus dengan problem orang lain.”

“Matamu tak bisa berbohong Al?”

“Sepertinya begitu bi.”

“Mungkin bibi, masih ada sisa kecerdasan khusus untuk membantumu Al.”

Panjang kali lebar aku paparkan kemelut yang berusaha menggoda kemesraan kami. Aku merasa menemukan wadah penampungan untuk menumpahkan gonjang-ganjing yang melanda ruang tamu sehingga gelak tawa dan kelakar yang biasanya memenuhi setiap jengkal sudut ruangan, namun saat ini sunyi.

“Al, jangan kamu menuntut pada istrimu di luar zona nyamannya, dan cobalah untuk peka atas hal sekecil apa pun itu.”

“Saya bingung harus mulai dari mana bi.”

“Mulailah dari sesuatu yang istrimu idamkan.”

“Sedang saya pikirkan bi.”

“Al, perempuan itu lebih banyak memendam keinginannya, dan sifat umum dari perempuan pingin dimanja, yang efeknya merasa damai dan terlindungi.”
“Baiklah bi, tolong dibungkus baksonya satu untuk bahan rayuan ketika saya pulang.”

“Nah, begitu Al, kasih sambal enggak baksonya?”

“Kasih agak berlebih, tapi dipisah sambalnya bi.”

“Emangnya istrimu konsumsi pedas ya?”

“Sepertinya akhir-akhir ini Katrina, berubah jadi merak bi.”

“Bibi, sarankan ajak istrimu ke bidan.”

“Memangnya kenapa ya bi?”

“Ajak saja Al, pasti kamu temukan jawaban dari semua keanehan itu.”

Dalam perjalanan pulang, aku masih memikirkan celotehan si bibi, ada benarnya juga kalimat yang berhamburan dari bibir si bibi, sebab pada kenyataannya aku sebagai imam keluarga yang dituntut pemahaman lebih dari tanggung jawab yang semakin hari semakin berlebih.

“Rin, apa kamu sudah tidur?” aku mencoba mengubah nada panggilan dengan lebih lembut.

Lama tidak ada sahutan atas pertanyaanku, hingga tertuang bakso ke dalam mangkuk lengkap kusiapkan sendok dan garpu makannya, sengaja kubawakan untuk mantan kekasihku yang sekarang berganti status dengan sebutan istri.

“Rin..., yakin baksonya mau dibiarkan dingin?” percobaan berikutnya mulai kuajukan.

Tetapi tetap saja mulut yang bersembunyi di balik pintu kamar belum menggugurkan sebuah kalimat sebagai jawaban, mungkin ia sudah lelap, namun tiba-tiba pintu kamar terbuka, sesosok cemberut tapi aku menyukainya muncul dari balik pintu dengan rambut sedikit kusut. Rupanya selera Katrina tidak bisa mendengar kata bakso, ia langsung menghampiri walau dengan memasang muka masam dan langsung menyambar semangkuk bakso tanpa sepatah kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Aku sangan menikmati pemandangan itu dan aku ingin mencoba untuk menyelami setiap inci perasaannya yang bersembunyi di balik diamnya seorang Katrina.

“Terima kasih baksonya!” begitu singkat buah bibirnya.

Kembali malam mengulang kesunyian serupa. Hanya hatiku bergejolak, berbisik sendiri menarasikan peristiwa aneh yang baru-baru ini memenuhi ruang ingatan. Mengapa harus ada pertikaian sementara masih di bawah atap yang sama, bukankah kita telah membebaskan diri dari prasangka orang-orang, kita telah dilantik di depan Penghulu? Tetapi angin yang berhembus di antara kita patut dicegah, karena yang kutakutkan lambat-laun menjelma badai yang bisa saja setiap detiknya memporak-porandakan bangunan yang masih belia yang baru kita susun dari butiran kepercayaan, cinta yang kita satukan dalam ikatan suci. Sungguh keadaan ini tak membuatku nyaman, dan aku tahu dirimu, jua tak nyaman bila harus tetap bertahan dengan kebisuan ini.

Berbekal saran yang kutimba dari banyak pemikiran teman-teman. Sore ini aku mengajak Katrina menelusuri jalanan yang banyak berlubang di kampungku. Sepeda motor dengan kecepatan sedang membawa kami menikmati suasana senja. Katrina tidak menyadari jika aku membawanya ke sebuah perumahan yang ditempati bidan Yola, bidan spesialis kandungan, sebab teman-teman dan si bibi pun menyarankan kalau aku sudah waktunya mengunjungi bidan cantik itu, tetapi bukan untuk memacarinya, melainkan memeriksakan istriku sekaligus memastikan sejauh mana aku pantas disebut laki-laki.
Bidan Yola, mempersilahkan kami masuk, sementara istriku tampak jelas dengan kebingungannya. Namun aku mengabaikan tanda tanya yang tersirat di mata Katrina.

“Mas, untuk apa kita ke sini?” celetuk Katrina, penuh curiga.

“Sudah, simpan saja dulu pertanyaanmu,” singkat saja jawabanku.

Lalu aku menuntun tangan istriku masuk meski ada sedikit penolakan tetapi kami tetap menjaga etika untuk tidak berdebat di situ.

“Apa bantuan yang bapak butuhkan?” pemilik suara lembut bidan Yola membuka pembicaraan.

“Saya butuh profesi ibu, untuk memeriksa keadaan istri saya.”

“Gejala apa yang diderita istri bapak?”

“Saya kurang pandai menjelaskannya bu, yang jelas penyakitnya aneh.”

Berubah tajam bola mata bidan Yola, menghujam ke hulu jantung, tetapi ia tak menyambung kalimatnya lagi. Ia mengalihkan matanya pada istriku kemudian bangkit lalu menuntun istriku memasuki ruang pemeriksaan. Aku termenung di ruang tunggu dengan segala terka yang kuciptakan sendiri, terkadang menimbulkan tiap-tiap kemungkinan yang bisa saja terjadi di luar analisis atau analogi yang selalu aku yakini.

“Tidak ada keanehan yang terjadi pada istri bapak.” Suara lembut ciri khas bidan cantik itu memberitahukan.

“Benarkah semua itu bu?”

“Ya, satu hal yang sangat penting, istri bapak jangan sampai kelelahan.”

“Baiklah bu, jika begitu.”

“Ada satu lagi yang lebih penting pak.”

“Apa itu bu?”

“Tak lama lagi Bapak, akan disebut ayah.”

“O, ya! Beneran ini bu?”

“Betul pak, istri bapak sedang mengandung. Selamat ya.”

“Terima kasih banyak bu, saya bangga atas kabar ini.”
Dan aku memeluk istriku yang terbengong atas segala yang dipaparkan bidan Yola. Seutuhnya dunia ini kumiliki setelah sang bidan menyatakan kabar mahal itu, bahwa aku sudah betul-betul menjelma sosok laki-laki yang tak bisa diragukan lagi. Tinggal menunggu waktu saja sebutanku berubah menjadi ayah. Sungguh kegirangan yang sulit untuk digambarkan.

Berbekal keterangan sang bidan yang panjang kali lebar, kutempatkan di kantung ingatan, sehingga tercetus janji di dalam hati, janji pada diri sendiri untuk terus menjaga dan menerima sikap aneh-aneh yang dipertunjukan istriku, karena aku menyadari jika itu semata-mata bawaan dari proses kehamilannya. Namun apa yang terjadi pada Katrina, benar-benar di luar logika, terkadang ia marah besar tanpa ada sebab, terkadang manjanya tidak ketulungan lagi. Pernah suatu hari ia ingin tidur seharian di pangkuanku. Sesuai janjiku di dalam hati, aku tetap menerima kejanggalan atau kelainan sikap dari istriku.

Seperti badut dicucuk hidungnya, aku memacu sepeda motorku menembus derasnya hujan sebab Katrina, bersikeras ingin menonton film kartun Tom & Jerry, sedangkan CD yang cuma satu-satunya itu mendadak raib, entah siapa tangan jahil yang mengambil atau meminjam, ketika kutawarkan untuk menonton film lain tetap saja nihil, sehingga dalam keadaan apa pun aku harus siaga untuk tetap mempertahankan senyuman di bibirnya.

Berputar-putar ke sana ke mari mencari toko kaset yang rata-rata toko tersebut sudah tutup dikarenakan hujan yang mengguyur daerah yang belum pantas disebut kota tetapi lebih ramai dibanding desa. Aku tidak menyerah begitu saja meskipun harus menelusuri setiap gang hingga terperangkap jalan buntu.

Gagal aku menemukan penjual kaset, tapi aku bukan tipe cowok yang lembek, kuperah ingatan, menekan nomor kontak kawan-kawan yang sekiranya bisa membantuku, kemudian aku mendatanginya.

Hujan yang terus mendera, terbayar sudah dengan sebuah kaset Tom & Jerry yang kudapatkan dari seorang teman. Akhirnya aku pulang, lalu mampir sejenak di kedai yang masih buka, membeli beberapa macam makanan, karena tak ingin terulang lagi menjadi target kemarahan istriku.

“Ih...! Abang, kenapa bukan piscok, malah pisgor yang dibeli, nyebelin banget!” kembali nada ketus meluncur dari bibir indah itu.

“Yang dijual orang, malam ini cuma itu Rin, lagian hujan begini tidak banyak yang jualan,” aku mencoba ajukan pengertian.

“Gak mau...! Aku maunya piscok.”

Pembelaanku tak cukup ampuh untuk melunakan keadaan. Aku mengambil piring yang berisi pisgor, membawanya ke dapur dan aku menjelma koki dadakan untuk menyulap pisgor menjadi piscok, bermodalkan bimsalabim, sebait mantera yang kutanyakan pada embah google sebuah cara untuk mengubah pisgor menjadi piscok. Karena hanya piscoklah sebuah jalur menuju perdamaian malam ini.
Malam, dengan kelelahan yang bertubi-tubi. Sebuah perjuangan untuk melintasi hari ini bukanlah hal mudah, apalagi harus memenuhi hasrat seorang istri yang terkadang selalu bersebrangan dengan logika. Tetapi kelelahan atau rasa jengkel itu masih kalah berharga dibandingkan dengan pesan istimewa yang dijelaskan bidan Yola. Tekadku sudah bulat untuk melayani istriku meskipun harus menjadi kacung atau jongos sekalipun, bahkan aku mencari buku panduan wanita hamil karena aku tak ingin ada kesalahan sekecil apa pun tentang kehamilan Katrina.

Aku mulai terbiasa dan menikmati keadaan, dan kuanggap bukan lagi sebuah beban. Pertikaian kecil yang hadir di tengah-tengah kami adalah bumbu senyuman untuk membentuk cerita hari esok, betapa tidak seorang yang paling kucintai bertingkah aneh seolah menguji batas kesabaranku.

*****
Entah berapa batang rokok terkapar puntungnya menyertai ceritaku. Yulyani Farida, gadis cantik itu menyimak dengan seksama sambil terus mengarahkan kamera kepadaku, ia tak sedikit pun menyela apa yang kupaparkan.

“Kehidupan yang bapak alami cukup membuat terharu. Boleh dilanjutkan ceritanya?” ucap gadis itu bersiap menyimak kisah berikutnya.

*****
Pagi yang indah, aku hampir kesiangan bangun, mungkin karena terlalu letih, padahal aku harus ke kantor hari itu. Sedikit terburu-buru menyiapkan segala keperluan istriku. Kemudian aku langsung meluncur menuju kantor. Tanpa sadar jika berkas yang terpenting ketinggalan di rumah, sedangkan ada rapat khusus sehingga berkas yang ketinggalan adalah presentasi inti yang wajib adanya. Dengan wajah cemas terpaksa balik lagi. Setibanya di rumah aku langsung menerobos tanpa mengetuk pintu dulu karena waktu cukup mepet. Tetapi apa yang terjadi di rumah terutama di kamar, kudapati istriku sedang bergumul dengan laki-laki lain tanpa sehelai kain yang menutupi tubuh mereka, keduanya panik tidak menyangka jika aku pulang secara tiba-tiba. Spontan kepala panas, pitamku menguasai ubun-ubun tanpa sadar kuhunus sebilah golok panjang yang selalu tersimpan di samping lemari, tanpa pikir panjang kedua makhluk yang sedang bergumul di atas tempat tidurku meregang nyawa tanpa perlawanan yang berarti, saat itu pertamakalinya aku menjelma malaikat pencabut nyawa. Tempat tidur berubah menjadi genangan darah. Sejenak aku tertegun menyaksikan pemandangan di kamar, akan tetapi aku senang karena aku telah cukup memenuhi tanggung jawab sebagai suami, dan aku segera menghubungi kantor polisi.

“Kenapa bapak merasa senang telah m3m6unuh istri dan laki-laki  itu?” sanggah gadis itu penasaran.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaan gadis muda itu. Memang bisa dimaklum bila gadis di depanku penasaran.

“Apakah bapak tidak merasa berdosa menghilangkan dua nyawa sekaligus?” lagi-lagi ia memperkuat pertanyaan.

“Tidak! Sedikitpun tidak menyesal atau merasa berdosa,” jawabku santai.

Padahal jauh di dalam hatiku, aku tetap menyimpan penyesalan, karena aku tidak pernah tahu jan1n yang dikandung istriku itu. Apakah janin itu anakku atau hasil perselingkuhannya di luar pengetahuanku. Tetapi untuk bagian ini biarlah menjadi rahasiaku, tak perlu gadis yang di depanku mengetahuinya.

“Kenapa bisa begitu yakin bahwa bapak tidak berdosa.”

“Dulu aku penonton setia vidio Ustadz Abdul Shomad, di youtube, ia pernah mengatakan (Jika seseorang yang berzina, sedangkan mereka itu sudah memiliki suami atau istri, maka razamlah mereka dengan memendam separuh badannya di tanah kemudian dil3mpari dengan batu sampai m4ti) dan itu masih kuingat,” timpalku menirukan gaya ustadz ceramah.

“Lalu kenapa bapak menyerahkan diri ke polisi?”

“Aku memenuhi hukum pemerintah dan tak ingin lari dari kenyataan.”

“Lalu sebaik apa hukum pemerintah kita pak?”

“Hmmm, seperti yang terlihat di matamu.”

“Maksud bapak, bisakah lebih spesifik lagi?”

“Ya, kau sendiri membeli waktuku. Seperti itulah hukum yang terjadi.”

“Oke, abaikan soal hukum negara kita, ganti pertanyaan yang lain?”

“Aku hanya memeliki jawaban dari pertanyaan kecil saja.”

“Kenapa bapak bisa setenang ini, padahal hidup di penjara?”

“Suatu hari kau akan memetik jawabannya.”

“Oke, terima kasih atas waktunya, saya akan sering berkunjung kemari.”

Gadis itu beranjak dengan penuh kebahagiaan. Aku kembali ke bilik tahanan, sebuah ruangan yang membatasi pandanganku. Tetapi tidak untuk pikiran dan nuraniku, aku masih bebas menarasikan dunia ini, dunia yang penuh intrik, dunia yang diliputi kiasan dari perumpamaan orang-orang dengan sudut pandang masing-masing. Aku cukup mengikuti cahaya yang menerobos lewat celah jendela, mengabarkan burung-burung di luaran sana, merasakan gemuruh ombak di lautan lepas sana. Badanku memang tak pergi ke mana-mana akan tetapi jiwaku seorang petualang. Aku tak dapat dihentikan dan memang tak ingin berhenti selama hayat masih menghuni badan ini, aku akan terus menyibak rimbun daun di belantara kata-kata. Aku tak pernah kehilangan negeri ini, negeri yang serupa mimpi, negeri yang dibangun orang-orang bermimpi, sejatinya kesetaraan dan keadilan adalah kicauan ketika sedang bermimpi. Aku jadi ingin lebih lama lagi bermimpi, mimpi kecil di balik bilik 701.

SELESAI

Lampung Barat, 26 Maret 2018.


Tentang Penulis:
Q Alsungkawa, tinggal di Desa Ciptamulya/Rt 01 Rw 03. Kec. Kebun Tebu- Lampung Barat, Lampung. Q Alsungkawa, lahir di Tasikmalaya dan besar di Lampung Barat. Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di sejumlah media, tergabung juga dalam buku MY HOPE 2017. EMBUN EMBUN PUISI. MAZHAB RINDU (KPS Pandeglang-Banten) EMBUN PAGI LERENG PESAGI. ANTOLOGI LANGIT SENJA JATI GEDE (Sumedang)  dan yang terbaru EPITAF KOTA HUJAN (Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang) SENYUMAN LEMBAH IJEN (Kemah Sastra Banyuwangi) ANTOLOGI ANGGRAINIM, TUGU DAN RINDU (tugu Sastra Pematangsiantar) JEJAK CINTA DI BUMI RAFLESIA (Bengkulu) SEPASANG CAMAR (Semarak Sasta Malam Minggu SIMALABA) KUNANTI DI KAMPAR KIRI (Kampar Kiri-Riau) ANTOLOGI PUISI UNTUK LOMBOK. Lolos di event TIFA NUSANTARA 4. Even A Skyful Of Rain, antologi Banjarbaru’s Raini Day Literari Festival 2018. dll. Saat ini aktif sebagai pengurus di Komunitas Sastra (KOMSAS SIMALABA) Lampung Barat.

Tidak ada komentar