HEADLINE

BIBIT BUNGA UNTUK KOTA LIWA_Puisi M Sarjuli (Sastra Pinggir Kota)



BIBIT BUNGA UNTUK KOTA LIWA

Akhirnya kita bertemu, Zubaidah
ditemani rintik hujan
suatu sore di kota Liwa.
berbincang ringan tentang biji kekata
berharap tumbuh bunga sebagai pelengkap wangi kota berbunga.

Meskipun kami dari pinggir kota
kami telah menanam berbagai jenis puisi
dari penjuru indonesia 
tentunya dengan karakter yang berbeda
ada yang lembut seperti seroja
wangi berduri seperti mawar
ada pula yang malu malu.

Zubaidah, tujuan kita sama
memelihara, merawat benih-benih kekata 
agar semakin banyak kita bertemu saudara yang serupa bunga.

SimpangTiga, AirHitam, Lampung Barat, 05 Juni 2019.


SIASAT PIKAT

Pada pandangan ini, cinta itu tumbuh
dari sekelebat kedip merasuk dari sisi-sisi punggung
menjelma hasrat dengan sayap-sayap terbentang
mengepak ingin terbang.

Dikekacauan ini aku menyusun siasat
memikat agar terjerat
tentunya aku-
aku akan menunggu
dan tak ingin terburu-buru.

Sementara itu, cinta ini semakin berontak
melihat sikap yang begitu hangat
pelan-pelan melempar senyum
menjadi aku yang terpikat.

Ini sebabnya, mata ini masih melihat
menjelma tingkah yang begitu renyah
berpura-pura naif tak terpikat
Padahal hati ini sekarat.

SimpangTiga, AirHitam, Lampung Barat, 06 Juni 2019.

PUISI UNTUK YANG BERSEMBUNYI DI BALIK DADA

Di suatu pagi, saat singgah di rumahmu,
aku pun telah mengetuk pintu hatimu
hatiku tepanggil oleh lirik mata
dan senyum sipu-sipu malu
diam-diam pula aku sudah mencintaimu,
saat kau membukakan pintu rumah
aku terpana sejenak
karena bibir ini tak mampu berkata-kata
hanya mampu memotret wajah dalam pikir
yang selalu kusimpan
dan kembali kuingat saat malam
inilah sebabnya aku selalu bercumbu dengan angan
karena aku dalam waktu sedetik
telah jatuh cinta padamu.

Begitu sucinya cinta, seperti kesetiaan yang menjelma dedoa
hingga jarak terasa dekat, meskipun rasanya pahit
penantian ini serupa mimpi di siang hari
memberi kekecewaan pada sang pemimpi
karena penantian ini bersanding catatan luka kelam masa silam
yang membayangi langkah tujuan

Aku yang mengetuk pintu hatimu
tak berhak untuk masuk begitu saja,
atau hanya sekedar mengintip dari jendela kaca
meskipun aku hanya ingin menitipkan sebuah rasa.

Hari berikutnya
hanya untuk kau lihat
aku melintas di depan rumahmu
memakai baju warna-warni 
warna yang mungkin akan menarik perhatianmu
berharap ada warna dari dadaku yang kau suka
yang mungkin kau mau.

Aku hanya ingin menyapa hatimu dari tepi
melambaikan tangan, yang kelak akan kau genggam
seperti sepasang merpati yang dimabuk cinta
yang akan mendaulat rasa menjadi setia
disaksikan orang-orang tercinta.

Tentunya aku.
Dengan kata seadanya, meyakinkan makna di dalam dada
sebab tidur kadang kala harus berdua
dari sendiri menjadi dua
dua menjadi tiga
dan seterusnya sampai menjadi keluarga
mewarnai kehidupan 
dan entah mengapa hanya kau yang kuyakini
mengerti corak warna untuk sebuah rasa.

Dari sekian banyak warna diri ini,
pilihlah satu saja
akan kujadikan identitasku yang kau suka
Jika sudah, ini pertanda kita lahir kembali
menjadi pribadi yang baru
hidup bersama sosok yang dipilih untuk menyandera hati
hingga birahi seni ini berloncatan saling mewarnai
menitip kata, menjadi puisi yang kelak kita akan baca bersama.

Keinginan ini bukan tanpa alasan
juga bukan sekedar rangkaian kata-kata 
untuk kau baca saja
lebih dari itu, aku ingin berlabuh
menambatkan hati pada sosok
pemerhati diri dari balik jendela kaca.

Ketika hati ini begitu yakin.
Tiba-tiba cemas menjalar di pucuk ubun-ubun
menanyai kembali manusiaku
yakinkah.
Mampukah.
Untuk beranjak lebih jauh
dari peradaban ke peradaban
mengukuhkan cinta tetap pada tempatnya
agar dua pasang mata terus saling bercinta.
agar tak ada yang pergi dari dadaku
meskipun itu kata-kata sakit penuh makna
menjelma luka, aku tak rela melepasnya
akan aku simpan di tempat yang rapi
agar menjadi puisi yang halus
supaya kau tak kecewa dan pergi
sebab aku tak ingin sewaktu saja tak membelai rambutmu.
hingga kau ucap sebuah sajak bangga
sekedar untuk dikenang atau mengingatkan.

SimpangTiga, AirHitam, Lampung Barat, 05 Juni 2019.

MENUNGGU JIBRIL

Sudahkah kau memesan tiket, Jibril?
Untuk melewati jalan menikung
atau sekedar sesaat menjadi burung.

Sepasang mata sayu menantimu.

SimpangTiga, AirHitam, Lampung Barat, 06 Juni 2019.

MANUSIA MERDEKA

Kualami kesempatan untuk menggapai impian
dan telah kukecap manis rasanya
taukah kau Zubaidah, aku ini sudah terlalu manis
bosan dengan rasa manis,
aku rasa bau ini semakin amis
kualami penekanan penekanan
sudah saatnya aku melepaskannya.

Inilah arah keputusanku
dari tempat yang dekat menuju tempat yang tenang.

SimpangTiga, AirHitam, Lampung Barat,24 Mei 2019.


Tentang Penulis:
Muhammad Sarjuli tinggal di Lampung Barat, Kec. AirHitam, Desa SinarJaya, Dusun SimpangTiga. Karya–karyanya telah dipublikasikan di berbagai media; wartalambar.com, saibumi.com, lampungmediaonline.com, simalaba.net, lintasgayo.co. dan di bukukan bersama sastrawan dalam buku; BULAN SEMBILAN (2016/Jawa Timur), KUMPULAN PUISI KOPI 1550 MDPL (Tha Gayo Insitue, Ruang Sastra (RS) dan Aceh Culture Center (ACC-2016, Aceh), EMBUN DI LERENG PESAGI (2017-Lampung), Majalah Simalaba (SIMALABA AWARD 2017), MAZHAB RINDU (2017-Banten), NEGERI PARA PENYAIR (DEWAN KESENIAN LAMPUNG 2018).

Tidak ada komentar