HEADLINE

KENALI AKU MELALUI ADATKU _Oleh: Ariani Rosa Lesmana


(Penulis: sehari hari bekerja sebagai tenaga pengajar dan aktif mengamati kultur budaya di Lampung Barat)

Saya sangat terkesan dengan ini: slogan, motto, ikon, atau apalah bahasanya, “betik keliak, buyun kekhiloh (cantik dan berakhlak)”. Sempurna dan mulia! Itulah yang tertangkap di benak saya. Betapa bangga sebagai orang Lampung.

Ikon pada pemilihan mulli mekhanai (Bujang Gadis) Lampung Barat 2019 ini sangat menyentuh dan memiliki kedalaman makna yang harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ikon ini harus menjadi pedoman hidup, tidak hanya bagi mulli dan mekhanai, tapi juga bagi semua orang Lampung. “Betik keliak, buyun kekhiloh” sebenarnya merupakan manifestasi dari falsafah masyarakat Lampung Piil Pesenggiri.

Menurut Himyari Yusuf, secara adat, masyarakat Lampung terbagi dalam dua kelompok, yaitu adat Lampung Pepadun dan adat Lampung Saibatin atau yang sering disebut Lampung Pesisir. Hal ini menimbulkan perbedaan dialek dalam bahasa Lampung, ada bahasa Lampung yang berdialek A (orang sering menyebutnya dialek api) dan Bahasa Lampung yang berdialek O (orang sering menyebutnya dialek nyow). Dialek A didominasi oleh masayakat adat saibatin dan sebagian masyarakat adat pepadun. Dialek O lebih dominan dipakai oleh masyarakat adat pepadun.

Walaupun berbeda kelompok, masyarakat Lampung baik pepadun maupun  saibatin sama-sama memiliki falsafah yang menjadi pedoman hidupnya. Falsafah tersebut yaitu “Piil Pesenggiri” sebagaimana telah diungkapkan di atas. Namun, dalam uraian ini, penulis hanya mengkhususkan pada masyarakat adat saibatin agar lebih spesifik dalam pengungkapan opini dan penjelasannya.

Secara etimologi, Himyari Yusuf mengungkapkan bahwa Piil Pesenggiri berasal dari Bahasa Arab yang diadaptasi ke dalam Bahasa Lampung. Piil yang diartikan sebagai perilaku, dan pesenggiri yang diartikan sebagai keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri serta tahu akan hak dan kewajiban sebagai manusia. Dengan demikian, falsafah tersebut identik dengan perangai manusia yang agung dan luhur. Orang Lampung sebagai penganutnya memiliki kemuliaan akhlak, ketinggian iman, dan kecerdasan yang kompleks. Lalu bagaimana dengan pendapat keliru yang selama ini terjadi?

Tidak jarang kita mendengar kata Piil yang disalahartikan sebagai harga diri yang harus dipertahankan dengan agak membabibuta. Kata Piil sering dijadikan sebagai alat untuk melegalkan sikap egois, mau menang sendiri, dan merasa bermartabat tinggi. Hal ini terkadang menimbulkan sikap malas, kurang ulet, kurang tangguh, merasa gengsi melakukan sesuatu, suka makan enak dan barpakaian bagus (tapi malas bekerja), bahkan ada kalanya menimbulkan konflik. Ini adalah penerjemahan Piil Pesenggiri yang keliru. Sesungguhnya falsafah yang dianut oleh masyarakat adat saibatin tersebut tidak mengandung sedikitpun nilai negatif dan sejalan dengan nilai-nilai sosial serta nilai-nilai religius.

Piil Pesenggiri mengandung empat dimensi yang sejalan dengan nilai-nilai moral dan agama. Jika disarikan, nilai yang terkadung dalam falsafah tersebut adalah nilai ketuhanan yang menyangkut nilai-nilai religius. Orang Lampung saibatin harus memiliki akidah, iman yang kuat, memiliki hubungan serta ketundukan yang baik dengan sang pencipta. Selain itu, ada juga nilai kemanusiaan, nilai sosial. Sebagai penganut falsafah, Lampung saibatin harus mampu sejajar dengan masyarakat lain baik dalam hal tingkah laku maupun ilmu pengetahuan.

Empat dimensi yang terkandung dalam Piil Pesenggiri sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Kuntara Raja Niti  adalah Bejuluk Adek, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Sakai Sambayan.

Bejuluk Adek

Juluk Adek adalah keharusan memiliki gelar bagi masyarakat adat saibatin. Gelar tersebut disandang oleh pemakai sebagai ciri dan identitas. Gelar diperoleh melalui dua cara, melalui keturunan dan melalui perubahan sosial dalam kehidupan. Bardasarkan keturunannya, masyarakat saibatin ada yang bergelar raja, batin, radin, minak, dan kimas. Hal itu menentukan kedudukan seseorang dalam adat dan menentukan sapaan terhadapnya. Gelar berdasarkan keturunan ini relatif tetap dan tidak berubah, kecuali dengan cara-cara tertentu maka seseorang bisa mendapat gelar yang lebih tinggi, misalnya dari batin menjadi raja. Keadaan ini tentu saja memiliki syarat dan ketentuan sesuai dengan adat.

Gelar yang disandang adalah kehormatan yang wajib dijaga kemurniannya agar selalu bernilai positif dalam kehidupan. Gelar juga merupakan kekayaan adat dan kearifan lokal yang harus dilestarikan. Gelar ini juga mengandung seperangkat konsekuensi tanggung jawab dan beban dalam keluarga. Tanggung jawab itu menyangkut semua hal, baik secara moral maupun material.

Gelar juga bisa didapat karena perubahan status sosial dalam kehidupan. Status ini bisa didapat melalui pendidikan. Gelar akademis yang didapat seseorang dengan sendirinya akan menimbulkan tanggung jawab dan kepercayaan lebih bagi yang mendapatkannya. Oleh karena itu, menurut falsafah yang dianut bahwa masyarakat adat saibatin harus pintar, cerdas, dan memiliki kompetensi. Untuk apa? Tentu saja untuk dapat menyejajarkan diri dengan orang lain dan untuk bisa survival di tengah masyarakat global seperti saat ini.

Pendidikan adalah sesuatu yang mutlak harus diikuti oleh masyarakat adat saibatin. Pendidikan yang akan menciptakan perubahan sosial dalam kehidupan  adalah sarana mengubah seseorang agar sesuai dengan nilai yang terkandung dalam falsafah yang ada. Falsafah bejuluk adek ini menekankan kepada kita bahwa kita tidak boleh bodoh, tidak boleh terbelakang, dan tidak boleh lebih rendah dari yang lain. Prinsipnya adalah kesejajaran. Dari sini jelas tergambar bahwa berdasarkan pedoman hidupnya Lampung saibatin adalah masyarakat intelektual yang beriman dan berakhlak tinggi.

Nemui Nyimah

Menurut Rizani istilah nemui nyimah berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti bertamu atau menerima tamu. Sedangkan nyimah berasal dari kata benda simah, kemudian menjadi kata kerja nyimah yang berarti suka memberi. Nemui nyimah mengandung arti selalu membuka diri untuk menerima tamu, suka memberikan sesuatu dengan ikhlas kepada pihak lain dan sekaligus simbol ungkapan hati nurani serta keakraban.

Nilai luhur yang terkandung dalam falsafah nemui nyimah ini menjelaskan bahwa masyarakat adat Lampung saibatin adalah masyarakat yang terbuka terhadap siapapun dan terbuka terhadap perubahan apapun. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keikhlasan menerima siapapun sebagai teman, sahabat, dan saudara tanpa memandang suku, ras, dan agama. Setiap orang yang datang akan dihormati dan dimuliakan sebagai tamu dan juga saudara. Tamu akan selalu dijamu sebaik mungkin. Dan memuliakan tamu adalah menjadi kewajiban bagi orang Lampung saibatin. Setiap orang akan selalu berusaha menjamin kenyamanan tamunya karena itu merupakan kehormatan baginya secara pribadi.

Silaturahmi adalah salah satu perwujudan nemui nyimah ini. Masyarakat Lampung saibatin memiliki prinsip pantang memutuskan tali silaturahmi. Mereka selalu menganggap setiap orang yang bertamu, berinteraksi, atau yang pernah berinteraksi dengan mereka di masa lalu adalah saudara, bukan orang asing. Anggapan tersebut akan berlangsung hingga pada keturunan atau generasi berikutnya. Tak jarang dalam sebuah perhelatan kita kedatangan tamu jauh, yang lama tak berjumpa, yang sebenarnya tidak memiliki pertalian darah, tapi ikut dalam perhelatan kita karena mereka adalah sahabat yang menjadi kerabat dari nenek moyang zaman dulu.

Nemui nyimah memberikan penekanan kepada kita bahwa kita harus selalu menerima orang lain dengan keterbukaan hati dan pikiran. Bersikap ramah, menyenangkan, dan melayani dengan baik. Gambaran ini jelas bahwa masyarakat Lampung saibatin tidak akan pernah menyulut perbedaan antar sesama dan tidak akan melakukan perbuatan yang memecah belah. Santun, ramah, dan berempati, itulah aplikasi sederhana dari falsafah warisan nenek moyang ini. Sikap ini adalah modal dasar dalam hidup bermasyarakat.

Nengah Nyappur

Nengah nyappur mengandung pengertian bermasyarakat. Nengah adalah kata kerja yang bararti berada di tengah, sedangkan istilah nyappur artinya adalah berbaur. Oleh karena itu, setiap orang harus menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang harus berada di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang harus mengikuti berbagai kegiatan yang ada di masyarakat. Mampu bergaul dengan baik, mampu mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat.

Nengah nyappur menekankan kepada kita bahwa kita harus aktif dalam mengentaskan berbagai masalah sosial. Kita tidak diperkenankan untuk menjadi manusia yang acuh tak acuh terhadap berbagai hal yang terjadi. Peka terhadap lingkungan, memiliki solidaritas yang tinggi merupakan salah satu perwujudannya. Untuk itu, kita harus memiliki bekal intelektualitas agar mampu mengaplikasikan tuntutan dari falsafah ini. 

Memiliki kecerdasan interpersonal yang baik merupakan kunci sukses dalam prinsip nengah nyappur. Bagimana mengolah dan menjalin hubungan baik dalam masyarakat untuk suatu tujuan sosial tertentu. Prinsip dari falsafah ini tentunya memiliki tujuan pemecahan masalah. Oleh karena itu, prinsip ini tidak bisa diabaikan. Ada kalanya masalah yang dimaksud berhubungan dengan kebijakan tertentu dan menyangkut kepentingan orang banyak. 

Kecerdasan interpersonal dalam hal ini harus seimbang dengan kompetensi lainnya. Pemecahan suatu masalah ada kalanya menuntut seseorang untuk memiliki pengetahuan. dan pengetahuan itu akan teraplikasikan dengan baik, akan terlaksana dengan baik ketika didukung kemampuan interpersonal yang baik. Begitulah idealnya, masyarakat adat Lampung saibatin tidak hanya mampu menjadi pengikut dalam masyarakat, tapi juga harus mampu menjadi pemimpin, penentu kebijakan.

Sakai Sambaian

Sakai sambaian adalah dimensi terakhir dalam falsafah Piil Pesenggiri. Istilah sakai berarti bergotong royong dalam mengerjakan sesuatu secara bergantian, sedangkan sambaian bermakna tolong menolong. Oleh karena itu, sakai sambaian mengandung makna gotong royong dan tolong-menolong. 

Manusia sebagai individu dan makhluk sosial tidak akan mampu hidup tanpa bantuan orang lain. Orang Lampung saibatin telah mengatasi ketidakmampuan ini dengan sebuah pedoman yang terkandung nilai-nilai luhur di dalamnya, yaitu prinsip gotong royong dan tolong-menolong. Betapa indahnya prinsip tersebut.

Setiap orang akan memiliki sifat luhur ikhlas mambantu sesama. Hal tersebut tentu saja akan memberikan kemudahan bagi setiap anggota masyarakat dalam menyelesaikan suatu aktivitas, pekerjaan, juga permasalahan. Dengan demikian, tidak akan ada masyarakat yang merasa kesusahan dalam suatu hal karena kerabat, teman, saudara, tidak akan pernah mengabaikan mereka.

Dalam suatu perhelatan prinsip sakai sambaian ini sangat dominan. Setiap orang akan merasa bertanggung jawab melaksanakan segala pekerjaan demi terwujudnya acara. Orang Lampung saibatin akan datang berbondong-bondong walaupun tanpa diminta untuk membantu melaksanakan suatu hajat tertentu dari seseorang.

Ini menjadi budaya yang terus berlangsung turun-temurun. Terkadang si empunya hajat tak perlu berlelah-lelah menyiapkan segala keperluan karena masyarakat telah membantu secara alami. Secara alami maksud saya karena tanpa ada perintah, himbauan, atau undangan, mereka dengan senang hati akan datang membantu.

Masyarakat tidak hanya membantu menyumbangkan jiwa mereka secara fisik, tapi juga membantu dalam hal finansial. Setiap orang atau setiap keluarga akan memberikan bantuan mereka berupa uang, beras, sayur-mayur, lauk-pauk, kue atau makanan ringan, dan sebagainya. Sumbangan ini relatif sifatnya dan memiliki besaran sesuai dengan kedekatan dalam hal kekerabatan dengan si empunya hajat. Cara ini telah disepakati secara konvensional dalam masyarakat adat saibatin dan berlaku bergiliran antara satu dengan lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah Piil Pesenggiri, yang terurai dalam empat dimensi tersebut, selaras dengan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai social dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita masyarakat adat Lampung saibatin untuk mengetahui, mempelajari, memahami, serta mengaplikasikan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud semuanya utama sehingga tidak ada yang layak dikebelakangkan dari yang lainnya.

Nilai-nilai agung dalam Piil Pesenggiri harus tercermin dalam keseharian masyarakat. Cerminan itu akan memberikan gambaran bahwa masyarakat adat Lampung saibatin sangat agung dalam bertingkah laku, beragama, bergaul, dan memiliki kecerdasan yang kompleks. Tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga memiliki kecerdasan religius dan kecerdasan sosial yang baik. Jika semua telah terlaksana, maka pantaslah disebut masyarakat “BETIK KELIAK, BUYUN KEKHILOH”.

(Redaksi menerima kiriman tulisan seputar seni, budaya dan lingkungan hidup. Ke e-mail: remangremangbintang@gmail.com)

Tidak ada komentar