HEADLINE

SUARA RINDU UNTUK IBU_Puisi Puisi Bj. Akid



 

SUARA RINDU UNTUK IBU

Ibu, ini baru saja hujan, aroma tanah masih saja aku dengar, merayapi suluk ingatan paling dalam, serta mengigatkan gadis-gadis desa yang tersesat di ujung malam, aku telah sampurna menekuni pangharapanmu, meski dengan luk4-luk4 indah yang tak berlalu, tapi aku masih bertahan dengan rasa kenestapaan, walau kebahagian yang paling indah dalah kesakitan, sisakan setetes air matamu untuk perjalanan menuju rindu, agar kesempurnaan yang telah lama kau perdiangkan masih terdiam di dalam ingatanmu, atau dalam doamu.

Madura,2019


DONGENG RINDU BUAT KAURA

Kaura. musim-musim telah bertandang
Dalam tatapanmu, menyimpan asin laut
Dengan sirip ikan-ikan yang menjelma kupu-kupu,
Aku sangka mata bening itu, adalah cahaya bintang,
Yang memaksaku agar segera kembali pada angan,

Berapa nasip sudah aku arsip, dari warna-warna daun
Sampai kepada yang rabu, selalu aku alirkan  
Ke sepanjang sungai, sehingga jatuhan-jatuhan luk4 
Sangat gampang untuk berkilau.

Tak ada yang lebih indah, kecuali
Aroma tanah yang sering basah, menakwil
Keraguan seorang pengelana, ketika 
Kesampurnaan hanya bertandang di kerumunan doa.

Madura,2019


JALAN MENUJU RINDU

Gaun merah, adalah tali sejarah, Sebelum 
hujan-hujan turun, Merapal luk4 dalam kampung
Kembang dari suluk ingatan, Memancarkan kesunyian,
Bercerita tentang seorang perempuan, yang belajar
Mengubur senja di tanah garam.

Barangkali hujan tak kan turun malam ini
Sebab di balik mimpi pohon, angin bersiur
Seperti mengutuk embun menjadi kasur,
Sementara di sepanjang jalan, trotoar terdiam,
Melihat sepesang kelelawar yang sedang berciuman

Lubtara,2019


ARSIF BULAN JANUARI

Selepas hujan turun, membasahi rumah tua 
Yang bocor dalam dada, angin meniup kelopak
Mawar, dengan tiupan januari yang kedinginan

Akankah? Malam-malam masih bernoda 
Dalam senyummu, seperti kebisuan waktu
Yang menuliskan angka rindu, sementara bekas 
Bayang-bayang masih terikat pada masa lalu,

Aku terlalu pasrah mengendari malam
Diam adalah jalan satu-satunya
Dari pada ramai, sebab kesunyian tetap
Kita pertahankan, walau tidak 
begitu indah untuk di kenang.

Berung lalang,2018


PURNAMA AWAL TAHUN

Siuran angin tenggara, seperti berbisik kepadaku
Mengabarkan dingin hujan malam purnama
Yang tiba-tiba jatuh dengan sebungkus roti
Di meja makan, dan membangunkan kucing
Yang sedang bermimpi jadi anjing.
rr
Jangan-jangan purnama itu akan menyinari
Tulang namaku, nama yang dilahirkan di kota
Tua dengan aksara-aksara indah dan bercahaya,

Di mana debu-debu jalanan
Tetap percaya dalam pengelanaan
Merubah diri jadi basah, dan kembali
Pada asal mula ia merabah.

Rumah tua,2018


PERJALANAN DOA

Di mataku, selalu ada senja yang diam di beranda, doa-doa selalu menepi, menadah mata hari untuk terbit esok pagi, sebelum matahari benar-benar terbenam, senja-senja telah menjelma kunang-kunang, yang selalu terbang mengelilingi ingatan, serta keyakinan yang diperjuangkan, barang kali waktu akan segera tau, betapa kejam ketika ragu merasuki rindu, yang ditata oleh rapuhnya penantian, meski bayang-bayang lebih menyerupai aroma diam.

Dari sungai kelautan, cinta selalu berjenjang melawan angan, bersinggah dalam bingungnya kesabaran, yang sedang bersinar di jalan pulang, seandainya langkah terlebih dahulu tersesat di peta-peta lama, dan bertapa melawan kepekatan rasa, akankah? kita bisa bersama, untuk mengusir aroma tanah di ujung suasana.

Hanya hujan yang bersetia menafsir dingin, mengukur kelembaban angin yang tiba-tiba jatuh dengan sekotak mimpi seorang perempuan, sebelum ia berlayar ke kota Kalimantan, rupanya di sana kupu-kupu kuning selalu bersetia berjelaga, mempertahankan nama-nama janji, sesudah kepergian kembali untuk abadi. Adapun ikan-ikan yang ia kenali dari kecermatan waktu yang tak pernah perduli, ia memanjat rasa daria arah tenggara ke ujung daksina, sebab bagian dari doa-doa mereka masih terpahat sampurna dalam menentukan warna jendela.

Madura,2019


FALSAFAH DUKA

Aroma tanah kampung yang mekar dalam tubuhmu, merupakan kelembapan angan pada angin lalu, hujan hujan memanjang menabur gelisah pada harapan, yang tampa tau kita sudah kehilangan, tantang sebuah bayang-bayang yang terdampar di sudut-sudut halaman, barang kali waktu yang selalu pandai, sehingga kita tak sempat merasakan risalah-risalah indah, yang lama terpahat oleh burung-burung pagi dan separuh hati yang tak dimengerti.

Raungkan mantramu lewat harum tungku di dapur ibu, sebab keanugrahan masih bersatu dalam labirin yang maha tau, jika saandainya nanti kita akan berpulang pada hari yang terdiam, berarti kita telah benar-benar merahasiakan dosa masing-masing, seperti yang pernah kau ceritakan dulu, bahwa tiada ketersiksaan diantara kita kecuali merindu, maka sesungguhnya aku hanyalah sunyi yang terkadang harus bernyanyi, meraba segala kehidupan yang tak sebataspun berakhir dengan kegembiraan.

Perancak,2019


Tentang Penulis :

Santri Pondok Pesantren Annuqayah Madura. Sekaligus Penggiat Litrasi Di SMK  Annuqayah Sumenep, Yang Aktif Di Komunitas Laskar Pena PPA Lubangsa Utara.


Tidak ada komentar