HEADLINE

LAKI LAKI TANPA MASA DEPAN_Cerpen Rosni Lim (Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Mereka menyebutku laki-laki tanpa masa depan, karena berbagai sifat buruk ada padaku: berjud1 dan m4buk-m4bukan.

Hari ini aku kalah lagi. Duit 300 ribu hasil jerih-payahku selama beberapa hari ini melayang begitu saja. Si4l! Aku mencampakkan kartu-kartu di tanganku yang tidak memberikanku keberuntungan hari ini. Teman-temanku tertawa, yang menang tertawa paling keras dengan wajah seperti ketiban durian runtuh. Kutenggak segelas minuman k3r4s di atas meja yang ada di ujung gang jalan ini sebelum melengos pergi dengan kesal.

Sambil melangkahkan kaki, kusepak kerikil-kerikil kecil di atas tanah. Mataku jelalatan melihat ke bawah, siapa tahu ada yang ceroboh menjatuhkan duit 300 ribu di atas jalan ini, jadi kekalahanku bisa tergantikan. Tapi tidak ada duit sepersen pun di jalan yang kulalui hingga langkahku sampai di rumah.

“Kreeek…!” bunyi pintu berderit ketika aku mendorongnya ke dalam. Kulihat istriku dengan kedua anakku sedang duduk di ruang tamu, di atas lantai beralaskan tikar sambil menghitung duit yang berserak. Mataku seketika membesar, ada duit 5 ribu, 10 ribu, 20 ribu, dan 50 ribu beberapa lembar. Barangkali kalau dijumlah berkisar 300 ribu lebih.

“Wah, untunglah aku dapat gantinya,” kataku dengan mata berbinar sambil berjalan mendekat. “Duit ini buat aku saja ya!”

“Jangan, Pak!” istriku mencegah tanganku yang terjulur hendak menggapai segepok duit yang telah disusunnya. Matanya menatapku memelas, tapi ada sirat kemarahan di sana.

“Aku ambil yang ini saja, kenapa tak boleh? Itu kan masih ada sisa yang belum dihitung.”

“Jangan, yang segepok ini untuk membayar uang sekolah Dani dan Danu besok. Sedangkan yang belum dihitung ini untuk membeli buku pelajaran baru mereka. Ini pun masih kurang, terpaksa nanti membeli yang bekas saja di pasar loak,” kata istriku.

Kukerutkan kening, menatap wajah istri dan kedua anakku. Mereka menatapku dengan tajam walaupun sedikit ragu. Niatku keder juga melihat wajah ketiganya yang seperti menentangku. 

Aku akui, sewaktu Dani dan Danu masih kecil, aku sering memukul mereka. Sedikit saja aku merasa kesal saat kalah berjud1, mereka akan jadi sasaranku. Tapi itu beberapa tahun lalu, saat mereka masih SD. Sekarang kedua anakku sudah SMP, tubuh mereka membesar dengan cepat karena memasuki usia pubertas.

Istriku juga akhir-akhir ini lebih keras dan tegas dalam menentang segala keinginanku. Dulu, dia tidak begitu. Entah dari mana dia belajar untuk melawanku. Tapi ya sudahlah, kali ini aku mengalah saja.

Aku berjalan ke dapur, mencari makanan karena perutku terasa lapar. Di atas meja di bawah tudung saji, kutemukan sepiring nasi dengan sedikit lauk. Ah, istriku ini, bagaimanapun aku bersikap buruk padanya, dia masih ingat untuk menyisakan jatah makanku setiap hari.

Saat aku sedang makan, anak-anak melintas di dekatku. Bersama istirku, keduanya masuk kamar untuk tidur. Tinggallah aku sendiri menyantap nasi di atas piringku dalam suasana dingin dan sepi. Tidak ada yang menghiraukanku, tidak ada yang mau bicara denganku, apalagi mengajakku ngobrol. Di mata mereka, aku hanyalah seorang suami dan ayah yang tidak berkemampuan alias tidak bertanggung jawab. Seorang laki-laki tanpa masa depan yang hanya membebani istriku. Tapi aku tahu, istriku tidak hendak menceraikanku, karena tanpa seorang suami di sampingnya, akan datang banyak kumbang yang tergoda melihat kecantikannya. Setidaknya dengan adanya aku, dia terlindungi dari lirikan kumbang-kumbang nakal di sekitarnya.

Tiba-tiba istriku keluar dari kamar. “Pak, besok aku mau jualan lebih pagi, kamu bisa tolong antarkan Dani dan Danu ke sekolah?”

“Hhh…!” kuhela nafas berat sebelum menjawab pendek, “Iya!” 

Istriku pun masuk ke dalam kamar dan tidur. Kedua anakku pun telah terlelap ketika aku masuk. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang. Kutatapi wajah istri dan kedua anakku. Sebenarnya, hatiku sangat mencintai mereka, tapi ketidakmampuanku selama ini membuat mereka mengacuhkanku dan itu membuatku marah lalu melarikan kekecewaanku di meja jud1 bersama teman-teman yang lebih tahu untuk menghibur hati dan menghargai keberadaanku. 

Tiga ratus ribu di tanganku sudah raib sore tadi. Bagaimana lagi aku bisa bertemu teman-temanku besok? Tanpa duit, aku hanya akan menjadi penonton yang gigit jari melihat mereka tertawa bersama. Tidak, setidaknya aku harus punya pegangan malam ini, sedikit pun tak apa!

Aku gelisah,  bangkit dari dudukku dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Kulirik wajah istri dan kedua anakku berkali-kali, mereka betul-betul sudah terlelap dan pasti tak akan terbangun oleh suara berisik sedikit saja.

Perlahan, kubuka lemari baju tempat istriku biasa menyimpan duit hasil jualan sarapannya. Laci di dalam lemari itu terkunci. Aduh, kuncinya ke mana? Aku mencarinya dengan gelisah. Kuselipkan tanganku di setiap tumpukan baju, mencoba mencari kunci laci. Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang keras. Ini bukan duit, pikirku. Kutarik keluar benda yang kupegang. Mataku langsung melotot, seuntai kalung emas berkisar 10 gram ada di genggamanku. Hah? Sejak kapan istriku memiliki seuntai kalung emas yang demikian indah ini? Kenapa aku tidak pernah tahu? 

Tanpa pikir panjang lagi kalung emas itu kugenggam di tanganku, dan malam itu juga aku pergi dari rumah karena aku takut pagi harinya istriku akan mendapati kalungnya hilang. Malam itu aku pergi ke rumah Ronald dan menginap di rumahnya. Rencananya, pagi-pagi sekali aku akan menjual kalung emas itu, menjadikannya duit untuk kupertaruhkan di meja judi..

Tapi niatku tidak pernah kesampaian, karena malam itu sungguh sial, rumah Ronald tiba-tiba digrebek polisi yang mencurigai Ronald sebagai penadah barang-barang haram. Mereka menemukan barang-barang bukti, Ronald ditangkap, aku yang kebetulan bersamanya dicurigai ikut terlibat. Kami berdua diboyong ke kantor polisi. Sungguh sial nasibku.

Di kantor polisi, aku berkali-kali merutuk dalam hati di tengah rasa takutku. Tubuhku gemetar dan kaki tanganku berkeringat.. Sungguh sial! Kali ini, Dia telah menghukumku. Seandainya saja aku tidak kabur dari rumah dan menginap di rumah Ronald, tentu aku tak ikut ditangkap. Seandainya saja mataku tidak melotot dan serakahku tidak muncul melihat kilau emas di tanganku, pastilah aku masih di rumahku sekarang, di kamar tidur dengan istri dan kedua anakku, memeluk mereka hangat. Dan seandainya saja aku mendengar pesan istriku untuk mengantar anak-anakku ke sekolah besok pagi, pastilah semua ini tak akan pernah terjadi.

Oh, sungguh sial nasibku. Aku sungguh menyesali semuanya. Istri dan kedua anakku akan semakin tidak mempedulikanku. Bila aku mendekam di penjara nanti, berarti aku akan melengkapi dan membuktikan pandangan mereka terhadapku selama ini. Aku, laki-laki tanpa masa depan.

* * *

     

  
Tentang Penulis:

Rosni Lim, penulis tinggal di Medan

Tidak ada komentar