HEADLINE

Dilema Bram dan Kania_Cerpen Rosni Lim(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Sepuluh tahun berlalu tapi Bram belum bisa melupakan Kania, pujaan hatinya. Saat itu, Bram dan Kania menjalin kasih indah di kampus. Tapi setelah mereka menamatkan kuliah dan Bram ke rumah orangtua Kania untuk melamar, ternyata mama Kania menolak.
       
Bram baru selesai kuliah dan memulai kariernya sebagai karyawan magang di sebuah perusahaan. Mama Kania merasa tak rela bila putri semata wayangnya diserahkan pada Bram yang belum jelas pekerjaan dan masa depannya.

“Kenapa, Ma?” tanya Kania saat itu. Rasa sedih dan kecewa membaur mengaraki wajahnya saat dia mengantar kepulangan Bram di ambang pintu. Pemuda itu pergi dengan membawa hatinya yang terluka karena ditolak.

“Mama menolak demi kebaikanmu, Kania,” alasan mama Kania. “Mama pikir, kalian berpacaran biasa saja, ternyata serius hendak ke jenjang pernikahan. Kalau tahu, dari dulu Mama menolak.”

“Apa kekurangan Bram, Ma?’ tanya Kania tak mengerti. 

“Hmm… sebenarnya Bram anak yang baik dan sopan. Tapi…”

“Tapi dia anak keluarga sederhana. Ayahnya telah tiada dan hanya memiliki seorang ibu yang sudah tua. Begitukah, Ma?” tanya Kania agak emosi.

Mama Kania tak mengiyakan. Namun dia berkata, “Ibunya lumpuh, Kania. Apa kamu mau merawat  mertua lumpuh? Terus, dengan pekerjaannya sekarang, pegawai magang yang belum pasti kariernya, apakah akan bisa menjamin masa depanmu?”

“Kania siap hidup susah bersama Bram, Ma!” kata Kania. “Kania bersedia merawat mamanya bahkan bila terpaksa mengorbankan pekerjaan Kania nantinya. Kania rela karena Kania mencintai Bram, Ma,” airmata gadis itu turun membasahi pipi. Hatinya merasa sangat menyesali penolakan mamanya yang membuat kekasih hatinya pergi membawa luka di hati.

“Tanya papamulah,” kata mama Kania akhirnya. Beliau pun pergi meninggalkan ruang tamu dengan hati kesal.

Papa Kania yang dimintai restu oleh Kania, malah memberikan jawaban sama. 

“Tidak, Kania. Papa tak akan merestui hubunganmu dengan Bram. Papa tak bisa menyerahkan putri Papa satu-satunya kepada  pemuda yang belum jelas masa depannya!”

“Tapi  Kania betul-betul mencintai Bram, Pa…!” Lemah suara Kania.

“Dengar, Kania, Papa berencana menjodohkanmu dengan anak pemilik panglong tempat Papa bekerja. Namanya Ridwan, dia pemuda tampan berusia 27 tahun, anak satu-satunya dari boss-nya Papa. Kalau kamu menikah dengannya, pasti masa depanmu  terjamin. Setiap hari dia membantu usaha papanya. Dia anak yang rajin dan pernah melihatmu dulu sewaktu Papa memboncengmu kuliah lalu singgah di panglong sebentar. Tampaknya dia tertarik padamu dan berkali-kali menanyakan kabarmu.”

Ridwan? Ridwan yang mana? pikir Kania bingung. Dia tak tahu ada anak boss panglong yang diam-diam menanyakan kabarnya. Kalaupun tahu, dia tak peduli karena di matanya, tak ada laki-laki lain yang bisa dicintainya sebesar cintanya pada Bram.

“Papanya Ridwan tahu tentangmu dan hendak menjodohkan putranya denganmu. Besok, Papa bawa kamu ke sana jalan-jalan ya biar mereka bisa mengenalmu lebih dekat.”

Kania tak menjawab. Dia tak berselera menanggapi tawaran papanya. Dengan lesu, Kania berjalan memasuki kamar tidurnya dan berbaring di ranjang. Pikirannya dipenuhi dilema. Bila dia bersikeras menikah dengan Bram, itu berarti tanpa restu orangtua. Teman-temannya bilang, cinta tanpa restu orangtua akan susah nantinya. Bila dia menerima tawaran papanya untuk dijodohkan dengan Ridwan, berarti dia mengkhianati hatinya. Oh, mana yang harus dipilihnya?

* * *

Sepuluh tahun berlalu...

Bramastra yang dulu pernah ditolak orangtua Kania, kini telah menggapai kesuksesan. Kariernya di perusahaan terus menanjak dan dipromosikan berkat kecerdasan, kerajinan, dan keuletannya. Bahkan dia berhasil menduduki posisi puncak dalam jangka waktu 10 tahun. Kini usianya sudah 33 tahun, tapi belum juga berumah tangga.

Katarina, yang merupakan putri tunggal pemilik perusahaan tempatnya bekerja, sering bekerjasama dengannya di kantor. Katarina menyukai Bram tapi tak berani mengutarakan cintanya karena melihat Bram sangat menekuni pekerjaannya tapi tak pernah menggandeng kekasih hati. 

Cinta Katarina yang diam-diam pada Bram diketahui papa Katarina. Dia berencana menanyakan Bram, apakah Bram bersedia menerima putri semata wayangnya sebagai istri? 

Di suatu siang saat papa Katarina memanggilnya dan menanyakan tentang hal itu di kafe perusahaan, Bram kaget bukan kepalang dan hanya mampu melongo. Tak disangkanya, Katarina diam-diam menyukainya bahkan sekarang papanya Katarina hendak menjodohkan dia dengan putrinya.

Bram tak tahu harus menjawab apa kecuali menghadirkan seulas senyum kikuk. Akhirnya, dia berkata akan mempertimbangkannya lagi. Setibanya di rumah, hati Bram gelisah. 

Dua minggu lalu, dia tak sengaja bertemu Kania di pusat perbelanjaan. Kania yang dulu sangat cantik dengan wajah senantiasa berbinar ceria, sekarang tampak mengurus dengan pipi cekung dan wajah murung. Tentu saja, Kania kaget berjumpa tak sengaja dengan Bram. Dilihatnya, Bram semakin tampan dengan pakaian rapi. Hati Kania berdebar. Pastilah sekarang Bram telah menjadi orang sukses, pikirnya. 
  
Pertemuan tak sengaja itu membuat Bram penasaran dan mencari kabar Kania sampai ke rumah ortunya. Untunglah ortu Kania masih tinggal di rumah yang dulu.

Kamu…?” Mama Kania yang membukakan pintu mengerutkan kening ketika ram berdiri di ambang pintu.

“Saya Bram. Bramastra, Bu, temannya Kania dulu.”

“Oh? Nak Bram?” Mama Kania seolah tak percaya. Tak percaya Bram akan menginjakkan kaki ke rumahnya lagi, dan tak percaya melihat Bram berpakaian sangat rapi, datang dengan mobil mulus yang tampaknya mahal.

Mama Kania mempersilakan Bram duduk di ruang tamu. Beliau menanyakan kabar Bram selama 10 tahun terakhir, dan Bram menceritakannya dengan jujur.

Mendengar cerita Bram, Mama Kania tiba-tiba menyesal karena dulu menolak Bram. 

“Bagaimana kabar Kania selama 10 tahun ini, Bu?” tanya Bram sopan dengan rasa ingin tahu.

Mama Kania diam. Tak sanggup diceritakannya kabar Kania. Setelah menikah dengan Ridwan, Kania memulai hidup yang sulit. Mertua perempuan yang keras membuat Kania serba salah. Apalagi setelah 8 tahun menikah, dia belum juga memberikan momongan. Suaminya memilih menghabiskan waktu di luar rumah daripada setiap hari mendengar kata-kata mamanya kepada istrinya yang tak berdaya.

Mau tak mau, kisah getir itu diceritakan Mama Kania. Setelah mendengarnya, hati Bram gelisah dan terbersit di pikirannya untuk mendekati Kania kembali. 

Lewat obrolan di ponsel, Bram berkata dia bersedia menerima Kania kembali bila Kania berpisah dengan Ridwan. Karena Bram masih sangat mencintai Kania. Omongan itu didengar oleh ibunda Bram dan beliau menasihati Bram supaya jangan masuk ke dalam hubungan rumah tangga orang lain.

“Kamu berhak memiliki kebahagiaanmu sendiri, Bram,” kata ibunda Bram. 

“Niat baikmu nanti bisa disalahartikan. Bisa-bisa nanti kamu dituding merusak rumah tangga orang,” nasihat ibunya.

Bukan ibunya saja yang menasihatinya, tapi Kania sendiri menolak dan menasihatinya. “Jangan, Bram. Aku ini istri orang. Biarlah aku menanggung akibat dari keputusanku. Saat aku memilih Ridwan, aku sudah menyerahkan kebahagiaanku di tangannya. Kamu carilah gadis baik-baik dan raih kebahagiaanmu sendiri,” kata Kania.

Bram bangkit dari kursi di kamarnya dan memandang keluar jendela yang terbuka. Dilihatnya daun-daun di pekarangan rumah sedang menari-nari ditiup angin. Hatinya  dipenuhi dilema, menuruti kehendak hatinya ataukah mendengar nasihat ibunya? Dilema sama yang pernah dihadapi Kania dulu, memilih Ridwan ataukah dirinya?

* * *
        
Tentang Penulis:

Rosni Lim. Penulis tinggal di Medan 

Tidak ada komentar