HEADLINE

REFLEKSI PERJUANGAN KAUM SANTRI_Oleh Solekhatus Salamah

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Hari santri tentunya sangat familiar terutama di kalangan pesantren. Hari tersebut menjadi hari yang bersejarah bagi kaum sarungan atau santri karena mengingat peristiwa Resolusi Jihad para ulama terdahulu. Salah satunya adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan seorang ulama besar yang perannya tak diragukan lagi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan sekaligus muassis atau pendiri organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.

Kiai Hasyim yang dipercaya masih keturunan Jaka Tingkir sudah terlihat tanda-tanda kebesarannya sejak dalam kandungan ibunya, yakni Nyai Halimah. Beliau bermimpi melihat rembulan yang jatuh dari langit dan mengenai kandungannya yang berarti bahwa bayi tersebut akan menjadi orang yang berpengaruh. Mimpi tersebut menjadi kenyataan ketika beliau telah dewasa dan mendirikan sebuah pesantren. Dari sinilah awal mula perjuangan Kiai Hasyim di Indonesia.

Pada tahun 1899 H, Pesantren Tebuireng resmi didirikan dengan jumlah santri delapan orang. Pada saat itu, keadaan di Indonesia masih dalam jajahan sehingga tidak mudah bagi Kiai Hasyim untuk memperjuangkan pesantren tersebut. Diceritakan dalam film Sang Kiai, penjajah Jepang melarang rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan memaksa rakyat Indonesia untuk menyembah matahari atau biasa disebut sekerei. 

Menanggapi hal tersebut, Kiai Hasyim sebagai seorang yang agamis dan taat, tentu menolak perintah tersebut karena menyimpang dari ajaran agama islam. Beliau tetap teguh pendirian bahwa yang patut disembah hanyalah Allah Swt. sehingga Kiai Hasyim ditangkap oleh pihak Jepang. Namun, tidak lama kemudian beliau dibebaskan karena salah seorang putranya berhasil melakukan diplomasi dengan pihak Jepang.

Perjuangan melawan Jepang tak sampai disitu saja. Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk melimpahkan hasil bumi melalui Masyumi yang diketuai oleh Kiai Hasyim. Rakyat Indonesia digalakkan untuk bercocok tanam yang kemudian hasilnya diserahkan pada pihak Jepang. Hal ini membuat krisis pangan baik di kalangan pesantren Kiai Hasyim maupun masyarakat sekitar. 

Ketika bulan September 1945, Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration) datang ke Indonesia dengan niat menjajah kembali dan menguasai beberapa daerah seperti Medan, Padang, Palembang, Bandung dan Semarang. Melihat keadaan tersebut, Soekarno dan Hatta berusaha menghentikan Agresi Militer penjajah dengan mengadakan diplomasi. Akan tetapi, usaha tersebut gagal, sehingga secara diam-diam Soekarno mengirimkan utusan menghadap Kiai Hasyim untuk meminta fatwa tentang hukum membela tanah air. 

Menanggapi hal ini, Kiai Hasyim kemudian meminta Kiai Wahab Chasbulloh untuk mengumpulkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura untuk memusyawarahkan hukum membela tanah air, yang hasilnya adalah Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 2018 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Adapun fatwa dari Resolusi jihad tersebut yaitu setiap muslim tua, muda, dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan Indonesia, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada’, serta warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional dan harus dihukum m4t1.

Isi Resolusi kemudian dipublikasikan kepada beberapa komandan Hizbullah dan Sabilillah yang ada di Jawa dan Madura. Fatwa tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap warga Indonesia. Semangat untuk melawan penjajah semakin berkobar, termasuk komandan pasukan Surabaya, yakni Bung Tomo. Dia semakin semangat untuk menghadang penjajah yang ingin menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Bung Tomo memekikkan takbir yang menggebu-gebu sehingga terjadilah per4ng antara kaum penjajah dengan arek-arek (santri-santri) Surabaya pada tanggal 10 November 1945. 

Peristiwa ini merupakan pertempuran pertama rakyat Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan merupakan pertempuran terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Ketika tentara Inggris mulai melancarkan serangan, Bung Tomo mengerahkan rakyat Surabaya sedangkan Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah mengerahkan santri-santri, masyarakat sipil untuk melakukan perlawanan terhadap Inggris. Perlawanan yang awalnya dilakukan secara langsung dan tidak teratur, makin hari makin tertata, dan berlangsung kurang lebih selama tiga minggu.

Sejumlah 6.000-16.000 pejuang Indonesia gugur dan 200.000 mengungsi ke Surabaya. Sedangkan pasukan Inggris kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran ini memakan banyak sekali korban, sehingga disepakati pada tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan. Dari peristiwa di atas, terbukti bahwa peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar karena  santri terlibat di dalamnya secara langsung dan layak disebut pahlawan. Maka dari itu, keberadaan santri dan pahlawan sama-sama pentingnya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Tentang Penulis:

Solekhatus Salamah. Lahir di Purbalingga. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Program Studi Pendidikan Bahasa Arab. Ia juga bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto.

Tidak ada komentar