HEADLINE

DIALOG BURUNG DENGAN RANTING_Puisi Puisi Irvan Syahril (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 34

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)



DIALOG BURUNG DENGAN RANTING

Senja yang memanjangi bayang pohon-pohon
hanya ilusi yang membuat waktu keruh
gereja berputar mencari sarang yang ia lupakan 
di mana ranting cintanya itu suaka seluruh telur.

Rumput-rumput di halaman dan hijau pematang
menjelma tempat tunggu yang paling tenang
aku berpikir kalau nasib tak selalu baik
walau kita susun menyusunnya dilaruti cinta.

“Kemana telurku wahai ranting?” Tanya burung
yang telah lelah berputar di pikiran sendiri.

Gemulai daun didesir angin melengkapi kekeruhanku
penantian-penantian ini seperti labirin ruang
kau tak kutemui di mana pun di selat sepi
aku sejumput rumput bertahan di gersang cintamu.

“Apakah kau pernah menaruhnya di tubuhku?”
Tanya ranting. Burung itu berjingkrak ke sana ke mari
dari ranting ke ranting ia membaca ingatannya perlahan
Dan hari akan berakhir untukku dan burung malang itu.

Aku meneguhi keraguan sendiri bahwa kau atau cinta
selalu hilang tiba-tiba seperti musim seperti gerimis
dan mungkin memang kita telah terbiasa menebak
kalau cinta berpihak ke yang lebih terlunta-lunta.

“Mungkin kau benar. Aku tak pernah bertelur
di rantingmu dan telur tadi hanya kecemasanku
yang mengira hari menyetujui doa-doa rahimku,”

Aku dan gereja itu kita pulang ke dalam diri
dan bersiap kembara ke jazirah lain
sampai kita menemukan cinta 
yang benar memeluk dan merawat kita.

Serpihmimpi, Juli 2018.


KAU YANG TAK SEMPAT BERPATAH KATA

Kau selalu ingin aku menatap 
ke kedalaman matamu hingga kutemui
dasar dari cinta itu adalah kehampaan
yang panjang dan tak bertepi apa pun.

Senja atau sore yang melarutkan kita
mengusir daun-daun berkelambur
dari halaman matamu dari cinta ini.

Belum juga kau berpatah kata kepadaku
suatu pengertian cinta yang sungguh itu.

Walau kau dan aku bersedia menerima
apa saja yang diriwayatkan kepergian
kita masih teramat takut percaya
cinta tak mengorbankan siapa-siapa.

Jarak ini mirip samudera lepas
yang tak memiliki arah kompas
antara kau dan aku dan kebisuan
badai yang tak akan berakhir.

Belum juga kau berpatah kata kepadaku
suatu pengertian cinta yang sungguh itu.

Serpihmimpi, Agustus 2018.


FILOFOBIA

Angin saling susun menyusun alismu
sementara aku berusaha membuatnya
agar tak utuh. Bayang-bayang nyiur
tenggelamkan rasa percayaku kepadamu.

Telah kutebar ambai di luas airmatamu
supaya tak lagi aku terjerat napas itu
yang deru menderu menakluki aku.

Tidakkah kaulihat ombak yang lelah
mengejar bibir pantai menipis ini
kesederhanaan cinta semesta
melelapkan rasa sakit yang berkesiur.

Aku memang tak berani lagi menunggumu
keheningan malam pantai tanpa camar
tumpah penuh ke dalam kejemuan puisiku.

Senja lisut kambang di gelombang kecil air
mengantar perahu-perahu ke dermaga lain
aku memilih berdiam di jarak ini
dan kau tetaplah menjelma hantu dalam puisi.


Serpihmimpi, Juli 2018. 



MALAM JAUH LEBIH BERAT

Malam jauh lebih berat saat wajahmu
berhamburan menghujan dinding kamar.

Aku berpayung dari diriku sendiri
jarak yang sempat kita hidupkan
di meja-meja makan di luas taman
seperti badik yang memburu aku.

Akulah liar hewan yang kautaklukkan
hidup di penjara yang berterali waktu.

Sudah kunyatakan kepadamu kalau sepi
menjalar dari hulu ke hilir sungai lukaku
tapi kau terus mengelak dari cinta
untuk benar-benar tenggelamkan diri.

Sekarang waktu yang menderit berat 
satu-satunya yang tersisa di kepalaku
kadang harus kuulur tali rindu
agar bisa mengail cinta yang m4ti itu.

Dan malam jauh lebih berat saat derak kakimu
berlarian kecil di dalam ingatanku di sela waktu.

Serpihmimpi, Juli 2018. 



MEJA NOMOR ENAM


Kita begitu hati-hati membuka percakapan
setelah meja-meja tersusun dan sore karam
suasana kota teramat ramai untuk menyisih
dan kesepian-kesepian tak bisa kita tepikan.

“Cinta terlalu naif untuk kita bicarakan bukan?”

Kau memulai serupa dendam yang tertanam
dalam seorang penjahat kepada pahlawan
dan Sinta yang terlalu lama disekap Rahwana
kau enggan memalingkan matamu ke arahku.

Lampu-lampu nyala dan kesepian baru dimulai
entah berapa kali kita menyantap waktu di meja
nomor enam yang setia menunggu kedatangan
atau sebuah pecah tangis karena waktu selesai.

Angin berdebar menyamari degup kehati-hatian
mungkin bukan cuma kita yang melenakan temu
waktu di bawah payung langit dan porselen kopi
sebentar lagi kita sempurna menjadi debu kota
dan cinta adalah angin yang menghapus kita.

Serpihmimpi, Agustus 2018.


TIADA LAGI KERAMAIAN HUJAN

Tiada lagi hujan yang menetas 
di rambut dan wajahmu kekasih.
Kita hanya menunggu kemarau
mengeringi perjalanan cinta ini.

Daun-daun yang bertahan didebur angin
berjatuhan dan ranting pohon kehilangan
seluruh cintanya yang menghijaukan
hidup dan umurnya di musim sekian.

Adakalanya memang lanskap seperti itu
memenuhi mata kita yang kangen kekasih
dan cinta ini hanya suatu omong kosong
yang sering kita obral dengan kesukacitaan.

Tak ada yang lebih baik selain kita tinggalkan
cerita yang mengganggu tidur dan tulis puisi
dunia dan petanya masih punya cinta lain
yang bisa kita gantungkan hidup dan sia-sia umur.

Tiada lagi keramaian hujan
tetes setetes mengembuni jendela
yang di dalamnya kita berkamar
mengeram sebuah kangen kekasih.

Serpihmimpi, Agustus 2018.


DI SUATU KAMAR


Kamar ini serupa peron di stasiun
tempat orang-orang menunggu
dan aku sudah akrab dengan tiktak
waktu sebagai pertunjukan rindu.

Kelebat wajahmu telah meruap
ke atas langit-langit dan resap
apa yang bisa kubayangkan
selain pertemuan-pertemuan.

Oh sepi yang telah berkawan
mungkin kita saling mengalah
saat ingin kuambil wajahnya
kau kelindan ke kosong pikiranku.

Dan seperti pada suatu peron
aku dan sepi saling menunggu
ke mana selembar tiket rindu
mengantar kita yang berbelenggu.

Serpihmimpi, Agustus 2018.


MENGUPAS MALAM


Berkali-kali mengupas malam sampai tipis
tapi tak juga ditemukan wajah kita yang asli.

Cinta mendesak kita bermuka-muka
dan bebas dikenakan kapan maunya
jadi aku memang tak percaya kepadamu
soal cintamu hanya satu mencintai aku.

Kekasih kita terus menerus mencari cinta
tapi tak pernah bertanya kepada diri
mengapa kita memerlukan itu
: Cinta yang sama sekali belum tersentuh.

Berkali-kali malah malam yang mengupas kita
dan hanya kekosongan di wajah dan mata yang asli.

Serpihmimpi, Juli 2018.

Tentang penulis:

Irvan Syahril , Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menggawangi komunitas Gubuk Benih Pena (GBP) serta bergiat dalam ekstrakulikuler Bengkel Menulis Unsika (Bemsika) dan mengelola blog puisikusyahril.blogspot.com & sastrarumah.blogspot.com.
Beberapa puisi permah terbit di media cetak dan online seperti Pikiran Rakyat, Republika, Banjarmasin Post, Janang. Id dan lainnya. Serta dua puisi "Di Ambang Palang Pintu Kereta" dan "Tanjung Baru Menjerang Rindu" termaktub dalam buku antologi bersama Karawang Abadi Dalam Puisi (2018). Pemilik nama pena Serpihmimpi ini sedang menyiapkan buku antologi puisi pertamanya. 

Tidak ada komentar