HEADLINE

SESAL_Cerpen Dody Wardy Manalu(Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 29

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Aroma lavender menguar dari tubuh pemuda berambut kriwil itu. Hidungnya berwarna merah jambu dan berbintik. Ia duduk di kursi paling belakang. Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju kota Medan. Dua gadis belia duduk di sebelahnya. Mereka bertiga hanyut dalam lamunan.

@@

Suatu pagi di penjara.

Langit masih menyisahkan gelap ketika menjejakkan kaki di kota Sibolga. Sepuluh jam perjalanan buatku lelah. Kedatanganku ke kota ini untuk tuntaskan rindu setahun ter’endap. Aku akan ke penjara. Seseorang ingin aku temui ada di sana. Masih terlalu pagi untuk bertamu. Untung kepala sipir berbaik hati mengizinkan aku duduk di ruang tunggu. Tidak berapa lama, seorang perempuan menghampiriku. Ia tampak semakin tua.

“Mengapa datang, Nak! Ongkos mobil sudah bisa bayar uang sekolah adik-adikmu.”

Tak peduli pada perkataan ibu. Langsung memeluk tubuh kurusnya, lalu menangis di bahunya. Jemari ibu mengusap rambutku.

“Masih menyukai bubur kacang merah, Nak?”

Aku mengangguk sembari mengeluarkan sebuah rantang dari dalam tas.

“Aku bawa bubur untuk kita makan bersama.”

Membuka tutup rantang. Aroma kacang dan gula merah menguar di udara. Aku menyuapi ibu.

“Makanan penjara tidak ada seenak ini.”

Ibu mengambil sendok dari tanganku.

“Ketika masih kecil, kamu pernah menangis gara-gara buburmu dihabiskan anak tetangga. Bila ibu habiskan bubur ini, takutnya kamu menangis kayak dulu.”

Kembali mataku berkabut mengingat masa kecilku.

“Kenapa menangis. Apa buburnya tidak enak?”

Kembali memeluk ibu.

“Kapan semua ini berakhir, Bu! Adik-adik juga rindu pada Ibu.”

“Bila mereka rindu, masaklah bubur kacang merah. Aroma kacang dan gula menyatu di udara akan mengobati rasa rindu mereka pada ibu.”

Jam bertamu telah habis. Ibu digiring kembali ke penjara. Lima tahun silam, di depan mataku, Pak Kades hendak berbuat kurang ajar pada ibu. Tidak terima ibu diperlakukan demikian. Aku ambil balok dan memukul kepalanya hingga terkapar.

“Aku yang melakukannya.” Ucap ibu di hadapan Polisi. Ingin menyangkal. Tapi ibu menatapku tajam. Aku meninggalkan penjara di pagi bergerimis. Tahun depan akan datang lagi mengunjungi ibu.

@@

Suatu malam di tepi sungai.

“Kamu sengaja bolos kuliah hanya untuk merayakan hari jadian kita?”

Mata Pram melotot bagai bola ping-pong. Ia memeluk sekotak pizza pemberianku. Sengaja pulang kampung untuk menemui Pram.

“Aku ingat perkataanmu minggu lalu. Ingin merayakan hari jadian kita di tepi sungai di belakang rumahmu.”

Pram tertawa.

“Hanya bercanda. Lagi pula, bagaimana caraku sampai ke sana.”

Tawa hilang dari bibir Pram. Kecelakaan dua tahun silam telah merenggut kedua kakinya. Pram harus menyerah pada kursi roda.

“Mengapa aku tidak mati saja waktu itu.” 

Pram menangis di hadapanku.

“Mari kita rayakan hari jadian kita tanpa tangis.”

Kuhapus air mata Pram sembari membantunya berdiri. Kusandarkan tubuhnya pada punggungku.

“Apa yang kamu lakukan, Jani! Kita mau ke mana.”

Pram menepuk-nepuk bahuku.

“Kita akan ke tepi sungai.”

“Apa kuat menggendongku sampai ke sana?”

Pram menyerah. Aku terus menggendongnya mengikuti jalan setapak.

“Apa kamu lakukan bila bertemu orang yang menabrakmu.”

Kuberanikan diri menanyakan hal itu.

“Aku akan tanya mengapa tak mengunjungiku hingga sekarang.”

“Kamu tidak akan marah?”

Aku menoleh. Pram gelengkan kepala.

“Kemarahan tak akan mengembalikan keadaan kakiku.”

Hari makin gelap. Aku duduk di sebelah Pram. Tarikan napasnya terdengar kuat. Pram sangat menyukai aroma rumput basah. Ia tertidur setelah bercerita tentang dua ekor anak kelincinya.

“Kecelakaan itu tidak akan terjadi bila aku tidak ngantuk malam itu. Aku selalu dikejar-kejar rasa bersalah. Terlalu pengecut tidak mengakui perbuatanku. Aku yang merampas  kakimu. Maafkan aku, Pram!.”

Mataku memerah menahan isak.

@@

Suatu hari aku kembali.

Aku keluar dari rumah setelah lulus SMA. Belajar hidup tanpa bantuan ke dua orang tua. Terlebih ayah. Aku membencinya. Rasa benci itu berawal ketika ayah memukulku gara-gara merusak sepeda motornya. Aku tidak berniat merusak sepeda motor itu. Hanya ingin membantu ayah. Di umur lima tahun, tidak tahu bila batu gosok yang dipakai ayah membersihkan badan habis dari ladang akan merusak sepeda motor itu. Ayah juga pernah menamparku di hadapan teman-teman SMA-ku. Aku mencuri uang tabungan ayah. Namun tak seharusnya aku diperlakukan demikian. Ayah bisa memarahiku di rumah.

Sudah dua tahun meninggalkan rumah. Tidak pernah menghubungi ayah. Di kota ini, bersyukur ada keluarga mau menampungku. Ayah mau bilang apa. Buktinya, aku bisa kuliah tanpa campur tangan ayah. Aku kerja paruh waktu di sebuah cafe. Bahkan gajiku lebih tinggi dari karyawan lain. Kata pemilik cafe, aku karyawan paling rajin.

Aku mencuci mobil Pak Burhan, majikanku. Teringat kejadian enam belas tahun silam saat membersihkan motor ayah dengan batu gosok. Sekuat tenaga melupakan kejadian itu. Namun selalu gagal. Benarkah ayah membenciku? Atau aku yang egois. Hanya karena beberapa sikap ayah yang kuanggap salah, langsung melupakan seribu kebaikannya? Air mataku meleleh tanpa kusadari.

Keesokan hari, aku pamit pulang. Bus yang aku tumpangi seakan melambat memasuki perkampungan. Itu rumahku! Bangunan bercat biru lima puluh meter sebelum persimpangan. Aku mengetuk pintu. Tidak berapa lama, pintu terbuka. Ibu terkejut melihat kedatanganku. Aku langsung memeluknya.

“Di mana ayah, Bu!”

Ibu melepaskan pelukan, lalu masuk kamar. Ibu keluar membawa sebuah amplop.

“Kata ayahmu, bila kamu kembali, ibu harus memberikan ini.”

Hatiku diserbu ribuan tanya. Mungkin ayah masih membenciku hingga tak sudi bicara denganku. Ku robek amplop surat.

Buat Kean, anak ayah tersayang!

Kelemahan ayah sebagai orang tua, tidak bisa mengontrol emosi. Waktu kamu kecil, saat melihat motor ayah kamu rusak, ayah panik dan langsung memarahimu. Ayah sangat menyesal telah memukulmu, Nak!

Waktu kamu SMA, ayah pernah menamparmu di hadapan teman-temanmu karena mencuri uang ayah. Maafkan ayah, Nak! Ayah emosi waktu itu. Ayah menabung untuk membeli sepeda motormu bila nanti kuliah.

Ketika kamu pergi dari rumah, ayah sangat sedih, Nak! Ayah selalu memikirkanmu. Makanya, ayah minta tolong Pak Burhan menjagamu di kota. Ia teman ayah. Begitu ayah tahu kamu bekerja di cafe, ayah minta tolong pada pemiliknya biar gajimu ditambah. Kamu tahu, Nak? Itu uang ayah. Pemilik cafe menambahkannya dalam gajimu. Hanya itu bisa ayah lakukan. Kamu tidak mau lagi bertemu dengan ayah.

Sekali lagi, maafkan ayah.

Tangisku pecah. Sungguh menyesal telah membenci ayah selama ini. Di dasar amplop menemukan sebuah batu kecil.  Batu ini yang kupakai membersihkan motor ayah enam belas tahun silam. Ayah menyimpan batu itu.

“Di mana ayah.”

“Ayahmu ada di kamar.”

Aku langsung berlari. Mataku terbelalak menatap ke dalam kamar. Dekat jendela, mendapati ayah teronggok di kursi roda.

“Ayah struk karena selalu memikirkanmu.” Ucap ibu dari arah pintu. Inikah hasil keegoisanku? Andai bisa meminta, biarlah aku yang duduk di kursi itu sebagai hukuman.

“Maafkan Kean, ayah!” Isakku sembari menghambur memeluk ayah.

@@

Aroma lavender masih menguar dari tubuh pemuda berhidung merah jambu dan berbintik itu. Ia menoleh pada gadis yang duduk di samping kiri. Mata mereka beradu sesaat.

“Bila waktu bisa diputar, hal apa ingin kamu perbaiki di masa lalu.”

Tiba-tiba saja pemuda berhidung merah jambu dan berbintik melontarkan sebuah pertanyaan.

“Kakak bertanya padaku?” Ujar si gadis. Pemuda berhidung merah jambu dan berbintik itu mengangguk.

“Akan mengaku pada polisi bila pelakunya adalah aku. Bukan ibuku.”

“Aku juga tidak akan mengantuk malam itu. Pasti kecelakaan itu tidak akan 

terjadi.”

Gadis yang duduk di samping kanan pemuda berhidung merah jambu dan berbintik ikut bicara.

“Kakak sendiri, jika waktu bisa di putar, apa yang kakak perbaiki di masa silam.”

Pemuda berhidung merah jambu dan berbintik diam sejenak.

“Andai tidak minggat dari rumah, aku masih bisa melihat ayah bekerja di ladang dan bisa mengajaknya lari pagi. Aku sungguh menyesal.”

Air mata memenuhi pipi pemuda itu. Lagu Chrisye, damai bersamamu, mengalun indah dari radio bus. Liriknya bagai air hujan menyirami hati pemuda berhidung merah jambu dan berbintik serta dua gadis belia tengah dirundung penyesalan.

END


Tentang Penulis:

Dody Wardy Manalu, beralamat di Kecamatan Sosorgadong. Kabupaten Tapanuli Tengah. Sumatera Utara.


Baca juga: SI KEMAL YANG BIKIN ONAR_Cerpen R. Bintang

Tidak ada komentar