HEADLINE

MATAMU ADALAH AKAR_Puisi Puisi Daffa Randai(Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)


MATAMU ADALAH AKAR

Tahukah kau, kekasih: matamu adalah akar
dari segala rumusan, cinta juga rindu
yang detik ini riuh di jantungku.

Dari sana, pujaanku: daun cintaku merimbun
batang rinduku melandung, buah kasihku beruntun
rindang , begitu kau tak jenuh kupandang.

Matamu laksana ranting, pemantik siul
dan nyanyi burung , yang tak gugur
dihuyung musim bertahun-tahun.

Dari sela-sela matamu, akar itu menjalari dada
kekal di sana, rimbun tunas serupa cinta:
dan dadaku, ialah dada yang berakarkan engkau
sesaat waktu lerai beringsut, hatiku diam-diam terpaut.

2017


JARAK BAGAI AMPERA
sebelum ke Ampera, mata lampu lilit-melilit
dingin pohonan, berpanjang-panjang.
bus kota, langit yang piawai bersolek,
tergeletak di tepian sungai.

“biduk-biduk di Musi menunggu,
seperti aku kini, yang tanpa kau.”
tulismu di surat, dan aku tersenyum.

sebelum ke Ampera, ini nyaris
seharian kupikirkan kata-kata, agar surat
dari kau, dapat terjawab selekasnya.

“terkadang musti begini, kau dan biduk
perlu sama menanti.” balasku buat suratmu.
tapi, sedikit jangan kau cemas, kini.

sebab jarak bagai Ampera, kekasih.
olehnya segala seluk kerinduan kita
; terjembatani.

2018
RUMAH KECIL DI KEPALAMU

Andai kau izinkan, kekasih
ingin kudirikan rumah kecil di kepalamu
tempat buat berpulangnya para rindu: melepas letih bersamamu

Kau tak perlu cemas andai satu di antara
rindu menghampirimu dengan wajah tertekuk
atau malah mengutuk senyumnya jadi lusuh

Kau jangan lekas berprasangka
mungkin ia hanya sedang butuh
perhatian dan pelukmu, juga cumbu atau kecup dari bibirmu

Rindu-rindu pun butuh waktu
buat meminang segala kenang yang membatu di keningmu
rindu-rindu pun perlu meraya temu

Rumah kecil di kepalamu akan juga kusertakan
pijar bulan atau bintang selaksa lampu
penunjuk arah: agar rindu-rindu kita nanti
tak tersesat dan dapat pulang dengan selamat

2017 


DI ATAS TANAH PEMAKAMAN

jemari lelaki lain membelai
rambut dan basah bibirmu
aku manusia asing yang murung
lebih memilih untuk menulis puisi

kau tak pernah menangkap adaku
tatkala kumulai diam-diam menyusun bait ke satu
sebab aku udara yang transparan
yang sembunyi di bilik lentiknya malam

aku manusia asing yang murung
menulis puisi sedih tentang seorang perempuan
yang dibelai lelaki lain melalui
sebuah potret terakhir yang dipajang

; di atas tanah pemakaman.

2018

KOMERING

kita berlayar dari hulu rindu
ke hilir temu─melintasi komering
senja hari, sesaat sebelum siang berpaling

lidah sungai yang panjang
serta riak-riak kecemasan yang dangkal
mengutuk sekaligus menenggelamkan
kau dan segala rindu yang tak bertapal

“senja yang sejak tadi bertengger
di barat sungai komering─
ibarat kau, kekasih; di hatiku kau
kekal dan tak tersudahi.”

─ucapku singkat merayu
sambil mengecup keningmu

2018


RIWAYAT PENYESALAN

sesal yang kini terdampar di bibir waktu
menjadi suatu pertanda: tragedi akhir bulan juni
kala laut mata mengering, kau bersikeras buat berpaling

menyangka hati ialah kabut yang dengki
memupus segala tangguh, hati sebatas kata sunyi
memaksa laut mengguyur kering di kemarauan

di atas kapal, di atas laut, di ujung malam
dalam jalan pulang, kejujuranku diringkus badai
kau bersusah menjulur tangan, aku m4t1 dilambaian

2017

PADA LANGITMU

pada langit-Mu, aku berlindung atas mendung
dan hujan dosa-dosa yang menggantung;
meriasi tubuhku yang lalai, akan subuh dan rubuh
; serta segala kefanaan ruh

doa-doaku yang sunyi menjalar menjulur
meriuhkan segala kecemasan yang terulur
dan berkepanjangan, ini segala hidup
; sepenuhnya, pada-Mu kuserahkan

sekat-sekat kecemasan acap bertumbuh di tubuh
seolah meragu bahwa kau wujud; oh betapa aku
malu semalu-malunya atas diri
; yang acap lalai akan segala wajib-Mu

pantas bagi dosa-dosa melekat, Tuhanku
pantas bagiku nyala neraka Kau sulut
lantas bagi-Mu, serampung taubat pantaskah ‘ku
; mencicip surga-Mu yang agung?

2018


RIWAYAT SEBUAH KAMAR

Kamar yang dekat taman itu
menghimpun bermacam kenangan, bukan?
seperti cermin pada almari: membayang senyummu abadi

Jam dan dinding, rangkaian bunga
punggung pintu ke satu: diam-diam
memuisikan kau dengan khusuk

Ranjang itu, mau tak mau
sempat mencecap pelukmu. Sendu, bukan?
ada yang sedang ingat-ingatnya
itu waktu gugup berusai, menjadi fana dalam reka

Dan origami kenang itu masih membatu
waktu kupungut satu persatu
sementara kau kikis, kutersedu dalam tangis

2017
Tentang Penulis:

Daffa Randai, lahir di Srimulyo, Madang Suku II, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan pada 22 November 1996. Alumnus siswa SMA Negeri 1 Belitang (2015) dan detik ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Salah seorang inisiator terbentuknya komunitas Pura-Pura Penyair. Pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi (2016), Redaktur Pelaksana (2017) di Mading Wiyata, dan Pemimpin Redaksi (2017) di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Tamansiswa.
Puisi-puisinya tergabung dalam antologi bersama seperti, Tasbih-Tasbih Rindu (Wahid Media, 2017) Tematik Rindu (Sudut Sastra, 2017) dan Kepada Hujan di Bulan Purnama (Tembi, 2018). Beberapa karyanya juga tersiar di koran Sriwijaya Post dan media daring seperti: jejakpublisher.com, tembi.net, kibul.in, sukusastra.com,tulis.me,lampungmediaonline.com,binisbelta.id, sastrapurnama.com, takanta.id, kawaca.com, dan lain-lain. 

Tidak ada komentar