HEADLINE

KETIKA IDUL ADHA TIBA_Cernak Heru Prasetyo (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 32

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Ketika Idul Adha tiba, suara takbir berkumandang di pagi yang cerah. Semua senang menyambutnya. Bersiap menyambut sajian gulai, tongseng dan sate kambing yang tersaji di setiap rumah masing-masing.

Tapi aku seorang anak kelas enam Sekolah Dasar malah kebingungan baju dan sarung apa yang akan kupakai untuk shalat nanti. Karena semalam, aku terlalu asyik bermain game di ponsel hingga ketiduran dan lupa menyiapkannya.

Sementara ayah sudah berpakaian rapi dan siap berangkat shalat Idul Adha ke halaman masjid kampung.

“Sudah jam enam, ayah berangkat dulu ya,” kata ayah.

“Ya, Yah. Nanti sebentar lagi aku nyusul,” sahutku yang masih sibuk mempersiapkan baju. 

“Untung shalatnya jam setengah tujuh,” gumamku sambil melihat jam enam lebih sepuluh menit di dinding. Setelah menemukan baju dan sarung yang akan kupakai, aku lalu memakainya dan segera berangkat ke halaman masjid kampung sambil tak lupa membawa dua lembar untuk alas sajadah nanti.

Tapi ketika memasuki halaman masjid, aku kaget mendengar dua kali suara takbir dari imam shalat. Aku pun setengah berlari sambil nyincing sarungnya, mencari shaf yang kosong. Tak sempat kulihat dulu kambing-kambing yang tertambat tak jauh dari situ.

Setelah ketemu, aku langsung menggelar sajadah tanpa memakai alas lembaran korang yang tadi kubawa. Sepanjang shalat, aku tak bisa khusyuk karena melihat sejumlah warga yang juga telat datang sama seperti diriku.

“Untung gak telat sendirian, ada temannya.” hiburku dalam hati selesai shalat.

Sekembalinya ke rumah, kuceritakan kejadian yang terjadi ketika hendak shalat Idul Adha tadi.

“Tadi itu jam shalatnya dimajukan jam enam dua puluh menit,” jelas ayah.

“Oooo pantesan telat,” sahutku sambil manggut-manggut. Lalu kunyalakan layar televisi. Hendak menonton film kartun favoritku.

“Wan, ganti pakaian dulu.” Ibu mengingatkanku.

“Nanti saja, Bu. Wawan mau lihat film kartun Shaun The Sheep dulu,” sahutku. Ibu hanya menggelengkan kepala.

“Kok gak ada film kartun Shaun The Sheep-nya,” gerutuku.

“Shaun The Sheep kan mau disembelih,” canda ayah. Mukaku langsung cemberut.

“Sudah jangan marah, Ayah kan cuma bercanda.” kata ayah sambil mengelus-elus rambut kepalaku. Aku pun tersenyum lalu memeluk ayah.

“Kok Ayah bisa tahu Shaun The Sheepnya mau disembelih?” Aku bertanya keheranan.

“Kalau mau tahu, ikut Ayah saja.”

“Mau… Mau. Kemana Yah?” Aku gembira menyambut ajakan ayah.

“Ke halaman Masjid.” Aku segera memakai sandal, bersiap pergi bersama ayah. Tapi ibu mencegatku.

“Ganti dulu pakaiannya, Wan.” kata ibu sambil memberikan baju ganti untukku. Selesai berganti pakaian, aku menemui ayah. Lalu berangkat ke masjid.

Sampai di halaman sekitar masjid, aku melihat banyak kambing yang diikat pada pagar atau pohon.

“Lihat Ayah, kambingnya lucu-lucu.” Aku menunjuk beberapa ekor kambing. Ayah tersenyum senang.

“Dimakan ya rumputnya biar sehat dan lucu seperti Shaun The Sheep.” kataku sambil memberi makan rumput pada seekor kambing. Ayah lagi-lagi tersenyum melihat tingkahku.

“Ayah, Wawan kok gak rela kambingnya harus dikurbankan.”

“Wan, itu memang sudah kewajibannya di Idul Adha ini.” Ayah menjelaskan.

“Wawan cuma kasihan saja sama kambingnya.”

“Iya, Ayah juga tahu. Tapi nanti dagingnya buat dibagikan ke mereka yang gak mampu.” Ayah kembali menjelaskan. Lalu menggandengku pulang.

Terbersit kesedihan di wajahku membayangkan kambing-kambing lucu itu harus disembelih. Tapi dalam hati, aku bangga pada pengorbanan mereka. Karena berkat pengorbanan merekalah, orang-orang tidak mampu jadi bisa makan daging walaupun cuma setahun sekali.

***

Sore harinya, kulihat banyak kiriman daging korban dari masjid kampung dan beberapa tetangga samping rumah. Biar tak mubazir, semuanya lalu diolah. Ada yang dibuat tongseng, sate dan gulai.

Aku yang suka olahan daging kurban langsung menyantap habis semua sajiannya. Mulai dari tongseng, satu dan gulai. Bukan hanya sekali tapi sampai tiga kali.

Malam harinya, tubuhku terasa lemas. Perut juga terasa sakit. Aku pun sering bolak-balik kamar mandi dan muntah-muntah.

“Kamu kenapa, Wan?” tanya ibu yang kasihan melihatku muntah-muntah.

“Mungkin kebanyakan makan daging kurban, Yah.” jawabku. Lalu ibu menggosok perut dan dadaku dengan minyak kayu putih. Tak lupa memberikan teh pahit untuk kumimun

“Bagaimana, sudah agak baikkan?” Aku menggangguk.

“Lain kali jangan kebanyakan makan daging kurban.” Ayah menasehatiku.

“Iya, Yah.” sahutku lemas.

Ayah lalu memintaku untuk beristirahat. Segera kubaringkan tubuh di atas tempat tidur.

“Yah… Sini dulu sebentar.” Aku memanggil ayah yang hendak menutup pintu kamar tidurku. Ayah pun mendekat.

“Ayah tahu tidak Idul Fitri dan Idul Adha punya kesamaan lho.”

“O ya.” Ayah tampak kaget mendengarnya.

“Apa itu?”

“Sama-sama diawali puasa. Kalau sebelum Idul Fitri, ada puasa Ramadhan. Sementara sebelum Idul Adha, ada puasa Arafah. Hidangan pun sama-sama berbau daging. Betul kan, Yah.”

“Anak Ayah pintar.” puji ayah sambil mengelus rambut kepalaku penuh kasih sayang.  Aku tersenyum senang mendengar ayah memujiku.

“Sekarang tidur ya. Jangan lupa berdoa dulu.” pesan ayah. Aku mengangguk lalu membaca doa sebelum tidur. Perlahan rasa kantuk datang, dan mata ini pun terpejam.

Yogyakarta, 6 Agustus 2018


Tentang penulis :

Heru Prasetyo, seorang pejalan kaki yang memilih naik trans Jogja atau becak ketika lelah melanda, juga pemerhati sepak bola dan suka sekali menulis apapun. Mulai artikel sepak bola, cerita remaja, cerita pendek, cerita lucu hingga cerita misteri (mistik/seram). Beberapa karya cerpen saya pernah dimuat di Bangka Pos, Banjarmasin Post, Harian Analisa Medan, Majalah Story, Majalah Kuntum, Minggu Pagi, Koran Merapi Pembaruan, Koran Pantura, Inilah Koran, Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, Harian Joglosemar, Republika, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Lampung, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Solopos, Sastra Harian Cakrawala Makassar, Serambi Ummah, Tabloid Nova dan Utusan Borneo.

Tidak ada komentar