HEADLINE

UNTUK SEORANG PRAMUSAJI BERMATA HUTAN_Muhammad Irwan Aprialdy (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 27

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


UNTUK SEORANG PRAMUSAJI BERMATA HUTAN

pengunjung terakhir sudah pulang.
segera piring dan gelas disingkirkan.
meja-meja dilap. bangku-bangku dibalik.
sapu dan pel merayapi lantai—menggulung
lengan kemeja hari.

memang tak ada yang lebih berarti
ketimbang jumlah pemasukan dipotong
jumlah pengeluaran serta gaji
di awal bulan.

tapi bagaimana dengan wajahmu?
berkaca di piring yang bersepuh
pijar bintang yang jauh?

matamu pernah jadi hutan.
kayu kering kukumpulkan di pinggir bencah.
kutumpuk jadi unggun di tanah lapang
dengan api penuh desis ke buram warna malam.

segera setelah pulang, barangkali kau berkaca.
memasuki bayang matamu. mengumpulkan
kayu kering sendiri. menumpuknya sebagai tugu
peringatan masa muda yang mesti dibumihanguskan;
amarah tak sempat tumpah.

seperti pangan pelanggan yang tak habis
di piring. seperti secerlak tanah di lantai
dari sepatu mahal seseorang. seperti meja
bertanda air. seperti susunan bangku
minta dirapikan. seperti tempo hari
yang kadang melambat dan berlalu
tanpa salam perpisahan. seperti gaji
yang kausulut jadi asap tembakau dan abu
di asbak pada pertengahan bulan.

ingin kautumpuk semua. tapi kau tergagap
karena lupa membekali kesialan
dengan bahan bakar dan sekotak korek api.

“aku punya. mari bersama kita pergunakan
sampai habis. sampai api membujuk turun
gerimis.”

bisikku liris.

Banjarmasin, 17 April 2017


APA YANG TIDAK KITA KELUHKAN

apa yang tidak kita keluhkan tentang hari ini? 
cahaya sudah harus menyingkir bersama garis terakhir 
senja. berhimpunlah! kusediakan sepetak pengertian 
atas tawa dan pemilihan sepi esok hari.

apa yang tidak kita keluhkan tentang wajah mereka?
cepat berganti kulit dalam pembahasan karsa.
kusodorkan sebuah cermin menata letak buai nirleka 
tanpa perlu mengelupas jejak rencana.

apa yang kita tidak kita keluhkan tentang sisa hujan? 
sambil melangkah hati-hati di atas jalan basah, 
kita berpegangan tangan. sebab telah usai berbagi,
kisah pun dipulangkan pada ceruk sepertiga malam
yang terbuka dalam gerimis. dari guruhnya, 
anyir sukma tiris.

kawan, apa yang tidak kita keluhkan?

Banjarmasin, 23 November 2017


GADIS BERKAOS BIRU

setelah perban dipilin, kita nyalakan
satu lagi pertemuan di bawah remang lilin.

tak tahu siapa lebih dulu maju.
di pantai, langit betapa biru. 
ombak berkejaran halu. 

selangkah kita tahu, 
kaki berserah digulingkan ombak 
menuju gelombang yang coba kita terka 
gumul terjangnya.

kauterangkan tata cara 
jadi pelupa sehimpun sabda luka.
di kedalaman palung, hening 
berkelindan buih-buih
dari mulut kita.

direntakan arus, kita bertahan
sendiri. masing-masing berusaha 
meredam lenguh.

lupakan karang dan bagaimana kita
pernah saling menghantam dan lanjut
menyelamatkan. 

luka diam redam. tak berludah 
sampar puisi merah. 
lucuti gravitasi dan biarkan jisimmu 
terlevitasi.

legakan dada setelah mengirit nafas
di kedalaman rahasia. 
temukan lagi tanah perjanjian 
atau langit penghabisan itu.

di lain waktu kita bertemu, pastikan
kau masih secerkas gadis yang melucuti
warna langit dan laut
untuk dijadikan sandang penutup
dari luka pecut waktu.

Banjarmasin, 01 Maret 2017


SUN ISN’T RISE

kusesap aroma anggur di belakang punggung
kawan seperjalanan. jadi, Tuan, siapa berpaling?
tanpa wajah, aku tak ingin pulang. sebotol saja 
kita habiskan. bantal tak perlu tahu siapa namaku 
di mulut-mulut apak yang gagal mengenal elegi
di sebalik pintu malam. 

dua ronde lagi dan segaris meteor rubuh. 
kita jatuh ketika subuh mengeja tubuh 
yang bukan lagi milik kita.

siapa sempat bertanya? dari sejarah kepergianmu
kita merangkak di bibir ranjang. mengais keberanian
karena kita mampu oleng di puncak-puncak pelarian. 
sebelum saling menghapus nama. pura-pura mengikis 
riwayat kefasikan di keringat yang menguap dan kembali 
menyublim di jendela kamarmu

malam dan pagi itu.

Banjarmasin, April 2018 
  
SAJAK BIBIR

ingin kaurebut satu kecup. bibirku brankas 
dengan kode yang harus kaupecahkan. 
hitungan tak pasti dari penjumlahan mahar kawin 
arus tawar dan asin yang menjadikannya gradasi. 
tipis nyaris tertepis. ambivalensi yang ciptakan 
hibriditas sekaligus ruang temu:

   yang menjadikan penjajah mencintai para nyai;
   yang membiarkan kelabu lengkungkan pelangi;
   yang membiarkan malam jadi peraduan;
   yang membiarkan petualang tak menemu kepulangan;
   yang membiarkan cinta jadi dua kamar kosong, 
   dua manusia diam-diam saling meneropong. 

lebur tulang rusuk di debar jantung dan dua pasang mata 
menjelma kaca. kau pecahkan dan takkan kulupakan! 

bibirku prolog. roman yang tak habis kaubaca. 
ciuman pertamaku ayat pembuka. selalu kaulantunkan 
saban menepis kewajiban. 

potretmu kusimpan. pembatas sepia antara kenangan 
dan kepikunan. rancang sebuah pembongkaran. 
lakukan atau tinggalkan. hidup betapa sia-sia
: mereka yang mengobral harga cinta yang raib 
sekedipan basah mata. dekatkan dan pastikan 
siapa ingin kaukecup selagi menggali lubang kembali 
pada-Nya. 

Banjarmasin, Mei 2018

MELAYAT API

siang menggantang lurus di atas tidur
yang tak terumuskan. dan kawan,
kita melayat padamnya api. lilin-lilin
kini sumbu dengan sedikit kukus.
sisanya gaung-gaung ritus.

saling berpegang janji melawan petang,
kita gesekkan batu-batu di atas unggun
yang dipungut dari barisan belulang ingatan 
yang nyaris berlepasan. di lesut perjumpaan karma, 
darah yang berguguran membawa serta pertikaian.

menang kita jadi arang.
kalah kita jadi abu.

dan kini, siapa yang tergagu? mengais lelucon
dari kabinet-kabinet hari lewat makan siang
yang terlambat. di ruang tamu, sekali lagi kekalahan 
dijamu. senyum-senyum di potret itu kita lengkungkan 
dari patahan sembilu. sebelum dendam mengeras 
dan kata-kata digerinda duapuluh empat jam sekali
di dinding-dinding keakuan.

Banjarmasin, 25 April 2018 


Tentang Penulis:

Muhammad Irwan Aprialdy, lahir di Banjarmasin, 28 April 1995. Puisi-puisinya telah diterbitkan pada harian Mata Banua, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan Media Kalimantan. Antologi puisi bersamanya Balian Jazirah Anak Ladang (2011), Kisah Tak Sudah Tanah Banjar (2012), Kepak Sayap Sastra Banua bagi Kemanusiaan (2013), Tadarus Rembulan (2013), Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014), Pena: Selaksa Kata (2015), Ije Jela (2016), Melankolia Surat Kematian (2016), dan Antologi Aruh Sastra XIV (2017). Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univesitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Bergiat di Teater Dua Pijar, Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya Kalimantan Selatan, dan #PERSEGI (Peretas Setapak Pagi).


Tidak ada komentar