HEADLINE

PENCURI AKSARA MELAWAN TOER_Cerpen Arinhi Nursecha (Semarak Sastra Malam Minggu)

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 28

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)





Apes! Kesialan hari ini seperti domino efek yang menciptakan kesialan-kesialanku berikutnya. Cerpenku yang berjudul Balada Seorang Pelakor dimuat di sebuah surat kabar di kotaku. Aku mengetahuinya dari sebuah grup kepenulisan di facebook yang rutin meng-update tulisan di berbagai media setiap minggunya. Kegembiraanku hanya terjadi sesaat, sebelum seseorang menggugat karyaku di kolom komentar sebagai plagiat dari cerpen asli almarhum temannya yang berjudul Jeritan Hati Seorang Pelakor. Kena aku! 

Anggota grup itu mulai riuh menghujatku. Sebagian kukenal mereka teman baik di dunia nyata maupun maya. Sisanya aku tak kenal. Mereka yang biasanya berbagi sapa-tawa di linimasa kini tampak bagai ingin mendorongku ke jurang. Jika kupikir kehebohan Minggu pagi ini sudah berakhir, ternyata aku salah besar. Entah kenapa ada jenis orang yang begitu berbakat serupa Poirot atau Holmes. Ini benar-benar bencana! Mereka berselancar di Google untuk melacak jejak tulisanku, memasang aplikasi pendeteksi plagiat, membandingkan dengan tulisan aslinya, menyeret tautan hasil investigasi itu, lalu mengumumkannya pada khalayak.

Aku menghadapi kekuatan sosial media seorang diri. Hanya butuh sekali klik dan dalam hitungan detik kabar plagiat itu dibagikan oleh publik sastra. Kepercayaan diriku seketika terjun bebas ke parit, hancur sehancur-hancurnya, bercampur bau busuk yang akan terus dikenang orang. Tidak terbayang wajah renta Pak'e dan Si Mbok yang harus menanggung malu akibat ulahku.

"Apa benar yang heboh di facebook itu, Wi?"

"Aku masih syok. Gak percaya kamu bisa setega itu menjiplak karya orang yang bahkan sudah meninggal."

"Aku gak nyangka di balik wajah lugumu itu kamu sanggup melakukan plagiat."

Pesan-pesan itu bak gelombang tanpa henti menyerbu ponsel. Kuseka bulir peluh yang menetes di pelipis. Seluruh kata di bumi ini terasa tak cukup untuk menjelaskan permintaan maafku. Aku hanya menjawab pertanyaan mereka dengan emot sedih. Sementara sosial media kian gaduh seiring banyaknya orang yang mengklaim sebagai korbanku. Mereka terus saja bertanya berapa banyak jumlah cerpen yang telah kujiplak, sementara aku sendiri pun tak ingat. 

Untuk pertama kali sepanjang hidup, aku merasa menyesal diciptakan sebagai manusia. Demi Yang Maha Suci, saat ini aku rela menjadi batu, pohon, cacing, rumput. Apapun. Asal bukan Dewi Eva yang kini sedang dihujat seantero mayapada. Mereka melabeliku sebagai penjahat literasi terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Menyejajarkanku dengan Selow Nogalau, koruptor yang akting tertabrak tiang listrik, atau Lila Ulala, pelakor yang viral disawer uang ratusan juta oleh Bu Dedi. Aku tidak sanggup menyandang predikat maling. Aku ingin m*t* saja kalau begitu. Titik!

"Apa benar yang mereka tuduhkan itu, Nduk?" 

Lagi. Pesan sejenis menghiasi ponsel. Kali ini datang dari Pak Edo Mulyanto, mentor sekaligus pemilik penerbit besar di kotaku. Aku sudah menganggapnya seperti bapakku sendiri. Bertahun-tahun lalu, aku pernah mengikuti seminar kepenulisan yang diadakan oleh penerbitannya. Gusti, aku terlalu malu untuk menjawab pertanyaannya. T*l*l, t*l*l, t*l*l! Kata-kata itu seperti gema tak berkesudahan di rongga kepala.

"Nggih, Pak. Maafkan Dewi sudah mencemarkan nama baik Bapak."

"Astaghfirullah, Wi."

Senyap selama beberapa jenak tetapi terasa seperti selamanya. Aku sudah pasrah jika Pak Edo hendak memblokir akunku. Aku juga sudah siap menyerahkan leherku pada tali yang sudah kuikatkan di langit-langit kamar. Sepuluh menit kemudian ia kembali membuka percakapan. Selama jeda tadi mungkin beliau berusaha mengerahkan kekuatan agar tidak ikut menjatuhkan mentalku. Pak Edo menyarankanku untuk menepi sejenak dari hiruk-pikuk dunia maya. Jika situasi sudah mulai kondusif, aku diperbolehkan membuat permintaan maaf secara terbuka. Baiklah, aku menuruti anjurannya. 

Aku tak bisa berkata-kata ketika membaca pernyataan Pak Edo tentangku, bahwa beliau memang kecewa oleh tindakanku. Meski begitu ia tetap merangkul dan masih berkenan menerbitkan naskahku jika kelak telah reborn. Rasanya ingin sekali sungkem, bersimpuh di kakinya, menangis sekencang-kencangnya sampai kering air mata dan habis suaraku. 

Namun status Pak Edo tak serta merta menjernihkan suasana. Alih-alih meredam, pernyataan itu justru memantik api perpecahan. Hatiku perih menyaksikan dunia yang kucintai ini terbelah menjadi dua kubu. Mereka yang terlalu menyayangiku memang terluka, tetapi masih mau membukakan pintu maaf. Sedangkan kubu kontra begitu murka. Tak terima pada mereka yang simpati terhadapku.

Padahal, simpatisanku dulu adalah orang-orang yang begitu lantang menolak plagiat yang dilakukan pendahuluku. Sebut saja Petir Jagad, Amila, dan Awi Naya Paradise yang hanya menjiplak satu atau beberapa naskah. Kubu kontra menudingku melakukan playing victim, hingga alasan pertemanan membuat sikap mereka yang menghujat berbalik menjadi simpati. 

Aku memberanikan diri menulis permintaan maaf terbuka di fesbuk meski hujatan masih terus mengalir. Seakan belum cukup melihatku terpuruk, netizen mengajukan gugatan massal ke redaksi dan penerbit. Satu persatu redaksi maupun penerbit mulai menghubungiku, mencopot gelar juara yang pernah kusandang, memasukkan namaku ke daftar hitam, bahkan menggugat secara pidana.

Black list berarti kiamat. Lalu, untuk apa lagi aku hidup? Aku berjalan menuju kursi di tengah kamar. Di atasnya telah kusimpul tali, sementara ujungnya kuikatkan di kusen pintu. Aku cukup memasukkan leher ke dalam simpul lalu menendang kursi itu jauh-jauh dan ... sayonara! 

Gubrakkk! 

Punggungku terasa remuk, terutama di bagian tulang ekor. Mataku mengerjap. Rupanya aku ketiduran saat menulis dan terjatuh dari kursi. Siapa yang mencuri kata-kata, berarti mencuri pikiran. Siapa yang mencuri pikiran, berarti mencuri hal yang paling hakiki dari manusia. Kutipan Pramoedya Ananta Toer berkedip-kedip di monitor laptopku. 

Hal terakhir yang kuingat sebelum tertidur adalah aku sedang berselancar di facebook. Rasa iri sempat hinggap melihat tulisan teman-teman sesama penulis bak panen tak kenal musim. Hampir tiap hari menghiasi media. Aku mengklik halaman baru untuk mengecek email, lantas mengembuskan napas keras-keras. Tak ada surat cinta dari redaksi, kecuali newsletter dari produk kosmetik langganan dan sisanya notifikasi fesbuk. Membaca ulang kutipan Toer membuatku bergidik teringat mimpi buruk tadi. Jadi pencuri aksara itu berat, aku tidak sanggup. Kamu?

Cikarang Baru, 31 Maret 2018



Tentang Penulis:

Arinhi Nursecha, pegiat literasi asal Cikarang Utaran Bekasi




Tidak ada komentar