HEADLINE

TERJEBAK_Cerpen Rosi Ochiemuh (Semarak Sastra Malam Minggu)


SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 21

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)


Tubuhku terpental masuk ke tempat bernuansa hijau,hijau kelabu, hijau pastel, hijau muda, hijau terang, hijau daun, hijau lumut. Retinaku sakit sekali. Aku belum pernah ke tempat aneh ini. Tempat anomali di hadapanku orang-orang kulitnya seputih susu. Kendaraan mereka bukan dari mesin kaleng. Aku berpikir ini bukan bumi.

Mereka lirik aku yang kebingungan. Kedua alis dan kening mereka berkerut seolah aku makhluk aneh di tempat ini. Kulitku sawo matang, rambut keriting hitam, mata bundar, hidung bulat, tinggi satu setengah meter. Mereka semua lebih pendek dariku. Mungkin setengah meter tingginya. Rambut mereka keperakan, hidung mancung, pupil mata hijau, jari-jari tangan lentik, kakinya jenjang, sepertinya mereka tidak berjenis kelamin karena postur mereka semua sama. 

Satu per satu mendekat, aku tidak bisa melihat keadaan. Mereka berkerumun, aku terduduk tak berdaya. Spontan kupegang dada dikala genting pasti denyutnya kencang. Aneh, aku tidak merasai denyut itu. Aku pegang nadiku, leherku, tidak ada denyutan. Apakah aku sudah mati, atau berubah jadi zombie? Mereka semakin dekat, wajah-wajah itu terlihat aneh jika diamati dari dekat. Seolah kloning manusia yang hidup di air dan daratan karena pada telinga mereka serupa insang ikan. 

Kepala jadi pusing, namun tiba-tiba tanganku ditarik seseorang lalu menyeretku keluar dari kerumunan mereka. Punggung jadi sakit, terasa panas karena terseret. Terhempas ke atap rumah, entah rumah siapa aku berada di atasnya. Aku terkejut ketika tahu sosok yang menarik tangan dan tubuhku tadi adalah Tikom. 

“Kau ini, di sini tetap saja d*ng*,”

“Jangan berkata seperti itu padaku, Tikom!”

“Jangan panggil aku—Tikom! Namaku Titin Komariah!”

“Namamu kampungan! Bagusnya disingkat saja.”

Dia sama seperti dulu. Di sini pun muncul dan mencampuri urusanku. Dasar perempun! Tidak bisakah buat hidupku tenang sedikit saja bahkan di alam ini sekali pun? Dunia terasa selebar daun kelor. Kenapa perempuan itu yang muncul?

“Kau menggerutu padaku?”

“Tidak!” jawabku keras, rupanya dia bisa baca pikiran orang.

“Tentu saja aku bisa. Ini dunia mimpimu, di sini aku penguasanya!”

Dunia mimpi?! Tikom penguasa tempat aneh ini?  Kalau begitu Aku ingin segera bangun dari tidur yang ternyata menyebalkan.

“Kau mau bangun? Tidak akan bisa,” ledeknya, dia terbahak. “Karena di sini aku yang mengatur. Kau bisa keluar dari sini. Asalkan buat aku bahagia,” lanjutnya terkekeh. Gila! Si*l*n! Aku diancam begini. Apa yang ingin dia perbuat padaku? Pasti dia ingin aku sengsara di tempat ini. 

Suasana tiba-tiba bernuansa ungu. Ungu putih, ungu kelam, ungu kelabu, ungu terang, ungu terong. Retinaku sakit dan berair, karena perubahan warna secepat kilat, lalu berganti pada warna berikutnya. 

“Kau terlalu lama berpikir! Warna tempat ini akan berubah sesuai perasaanku. Jika ingin warna langit, tanah, dan sekitarnya normal; kau harus buat aku bahagia, paham?!”

Tiba-tiba di tempat aneh ini aku menciut. Tikom berubah jadi Dewi Kali, salah satu dewi kepercayaan hindu. Dewi Kali berubah berbentuk asli jika marah. Tubuhnya jadi raksasa berkulit hitam arang menjulurkan lidah panjang merah, tangan-tangannya banyak yang memegang trisula, tombak, dan senjata tajam lainnya. Aku tidak berdaya melihat Tikom berubah seperti Dewi Kali. Sayangnya aku bukan Dewa Shiwa yang bisa taklukkan Dewi Kali. 

“Baiklah, Tikom…,” seketika aku pasrah mengucap. Tikom terlihat kembali normal, jadi perempuan manis. Dia tersenyum dan berkali-kali mencubit pipiku.

Aku tidak dapat berucap sedikitpun selepas itu. Tempat yang tadinya berwarna hijau, ungu, merah dan terakhir kuning itu, kembali layaknya bumi. Tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Lalu aku dan Tikom berjalan-jalan di alam aneh ini. Kami seperti pasangan muda berkencan. Tikom menggandeng tanganku erat, aku pasrah tak berdaya mengikuti keinginannya. Biarlah, asal dia bahagia dan aku bisa kembali ke dunia sebenarnya.

Aku rindu ibu dan adikku di dunia nyata. Kamar berbau khas lelaki pemalas, laptop, video game, buku-buku roman yang baru sebagian kubaca. Juga Dahlia—calon istriku, yang akan dijodohkan padaku. Dia gadis cantik, manis, langsing, mirip artis Ariel Tatum, hanya Dahlia berambut ikal mayang kemerahan dan sungguh warna rambutnya itu asli. 

Dua kali pertemuan dengannya, seketika itu juga aku jatuh hati padanya yang berparas cantik. Ia mempesona meski aku hanya bisa gigit jari karena harus bersabar pada ikatan tunangan. Selepas setahun baru dinikahkan. Sebetulnya yang menginginkan bukan orangtuaku, atau orangtua Dahlia. Itu semua keinginan Dahlia yang tidak mau buru-buru menikah. Dia ingin tamat sekolah, kemudian bekerja demi bisa menikmati penghasilan sendiri. Tapi aku tidak begitu, masih meminta pada kedua orangtua yang menyayangiku.

Aku terkejut, ada yang memukul kepalaku. Ternyata aku masih bersama perempuan ini, berada dalam kendalinya. Suasana berubah kembali hijau, serba hijau. Kedua mata sakit lagi, dan aku melihat Tikom berubah jadi dewi pencabut nyawa demikian seram.

“Kau! Sudah aku bilang. Kau harus membahagiakan aku di sini. Di alam ini!” gertaknya dan bulu kudukku berdiri, Padahal katanya aku berada dalam mimpi. Sial sekali, aku lupa jika dia bisa baca pikiran semua yang ada di tempat ini.

“Maafkan aku, Maaf,” ucapku terbata. Aku tidak bisa lagi mengucapkan kalimat lain selepas itu. Bibir kembali beku dan diam seketika. Aduh, ternyata aku kalah di tempat ini. Bagaimana caranya aku bisa kembali sebagai laki-laki yang berkuasa di dunia nyata. Meski aku terlihat cupu, namun aku bisa memerintah siapa saja di sana. Termasuk kedua orangtuaku.

“Sekarang, kamu antarkan aku jalan-jalan, makan eskrim, minum soda gembira, naik komidi putar, naik roller-coaster, naik andong, benar-benar kencan,” pintanya paksa. Tanganku digandeng erat. Dia kembali jadi manusia biasa seperti aku.

Di depan mata terhampar hiburan mirip pasar malam, tapi diramaikan oleh orang-orang aneh tadi. Aku dan Tikom laksana ratu dan jongos yang berjalan-jalan di antara mereka. Apa yang bisa kulakukan jika sudah begini. Sarafku seolah dikendalikannya. 

Kami naik komidi putar, roller-coaster, andong, minum soda gembira, memasuki rumah hantu yang semua itu sangat kubenci. Ternyata Tikom tahu kelemahanku hingga dia menyuruh aku menemaninya melakukan apa yang aku benci. Aku benci naik komidi putar, roller-coaster, minum soda buat aku muntah, naik andong di mana aku takut pada kudanya. Kenapa bukannya makhluk aneh lain yang jalankan andong? Gumamku kesal. Tikom tersenyum gembira, tertawa bahagia. Gigi-giginya tampak berkilau menjijikkan dan tidak sebagus gigi artis idolaku  Dewi Persik yang jika tertawa tambah cantik.

“Kamu kenapa?” tanya Tikom serasa memojokkan aku yang lesu seperti disedot oleh makhluk ghaib yang tidak lain perempuan menyebalkan di sebelahku ini.

“Aku puas dan bahagia sekarang, tapi aku ingin lebih dari ini!” teriaknya padaku, telingaku berdenging dan dia terbahak lebih keras. Aku semakin ciut.

Ditengah keterpurukan itu sekelebat keadaan berubah kembali. Aku terkesiap melihat suasana di sekitarnya. Semua kembali seperti di dunia nyata di mana aku lahir dan tinggal. Aku sepertinya ada dalam Dunia Fantasi di Ibu Kota, banyak wahana berwarna-warni. Kupegang dada kiriku terasa berdetak. Aku menoleh ke samping lalu menekuri sekitar. Rupanya aku sendiri saja di tempat yang ramai ini, duduk di sekitar taman indah dipenuhi orang berlalu lalang dan semua manusia normal seperti aku. 

Pakaian, celana, rambut, wajah, kaki, tangan dan seluruh tubuh aku raba lagi. Ternyata aku tidak apa-apa. Aku rindu rumah, rindu kamarku, rindu Dahlia yang lima bulan lagi kami akan menikah. Juga buku-buku roman yang kubaca sembari berkhayal di kamar. 

Tetapi aku merasa asing karena sendirian di tempat seluas ini. Bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini? Bagaimana caranya aku bisa pulang ke rumah? Sesaat pikiran bergulat, tiba-tiba datang dari arah barat memanggil namaku. Samar-samar, perempuan berkuncir kuda memakai kacamata tebal, memakai blues putih biru, berjalan ke arahku. Lamat-lamat kuingat, seperti pernah bertemu dengannya  entah di mana.

“Aduh, Mas. Kamu di sini rupanya. Sejak tadi aku cari-cari,” sapanya seolah kami sudah akrab. Luwes menepuk bahuku, tidak menyakitkan. Lalu dia tarik tanganku dan digandengnya untuk diajak pulang.

“Ka-kamu siapa, kok main tarik-tarik saja?” ujarku bingung. Dia berhenti berjalan. Bengong perhatikanku dari kepala hingga ujung kaki. Aku semakin lama kenal dengan wajah perempuan itu. 

“Aku ini istrimu, Titin. Titin Komariah!”

“Apa! Titin Komariah?!” Aku terbelalak. Apa aku masih di tempat yang sama di alam aneh itu? gumamku.

“Kamu tidak mimpi, Mas. Aku istrimu selalu didekatmu. Kata dokter, kamu harus sering ditemani, agar tidak terjebak pada halusinasi akut. Mengerti?” ujarnya, aku jadi pusing. 

Pundakku ditepuk lagi, kali ini keras. Aku tersentak. Kudengar Titin terus saja bercerita panjang lebar dan kepalaku pusing. Ada yang berkelebat. Satu per satu kisahku tentang Tikom berjalan hitam-putih. Titin Komariah. Perempuan yang berada di sampingku memang istriku yang belum pernah kubahagiakan sejak dia bersamaku sampai sekarang.

Cikarang City,  2018



Tentang Penulis :

Perempuan yang lahir di Kertapati Palembang, 14 Maret silam. Buku perdananya kumpulan cerita pendek Sesuatu di Kota Kemustahilan, terbit di LovRinz Publishing Februari 2018. Enam buah cerpen pernah dimuat di koran lokal dan belasan antologi event menulis indie dan mayor.





Tidak ada komentar