HEADLINE

PETANI KOPI LAMPUNG BARAT_Hidup di Antara Semangat dan Medan Yang Berat


Tak punya nyali, jangan kau dekati bukit-bukit yang sulit ini. Sebab medannya licin, sempit, curam dan bebatuannya tajam. Hanya orang orang bermental baja saja yang nekat mendaki tebing-tebingnya, apalagi menanam pohon-pohon kopi di atas sana. Ya, wilayah ini, kawasan Lebuay, Bakoman, Arum hingga Linggapura atau Talang Kereta. Kawasan ini ada yang masih masuk wilayah administrasi Kecamatan Kebun Tebu, Lampung Barat ada pula yang masuk wilayah Kabupaten Lampung Utara.

Untuk mencapai lokasi lokasi tersebut dibutuhkan kendaraan roda dua yang telah dirakit sedemikian rupa hingga mampu merayap di tebing-tebing runcing. Sepeda motor yang gear depannya menggunakan ukuran 10 atau 12 mata sementara gear belakang menggunakan ukuran 36 atau 40 mata. Teknik ini membuat sepeda motor para petani menjadi kuat dan siap untuk dioperasikan di medan-medan terjal kawasan perkebunan kopi.



Tetapi sebesar apa pun semangat, tidak cukup sebatas semangat saja. faktor alam dan cuaca adalah hal yang kadang tak bisa dilawan. Jalan tanah liat menjadi licin serta jurang-jurang menganga, menyeringai celah celah sungai siap menerkam bila terpeleset atau sepeda motor anda ngadat di tengah tebing, maka keselamatan menjadi taruhannya. Tetapi bagi warga Lampung Barat, tidak hanya di Kebun Tebu, juga di berbagai wilayah kecamatan lain seperti, Gedung Serian, Sumberjaya, Fajar Bulan, Air Hitam, Sekincau, Balik Bukit, Hingga ke Seminung sudah menganggap medan yang sulit adalah sahabat. Tergelincir atau terhimpit karung kopi di celah tebing sudah tidak asing demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat di negeri ini. Bertani adalah sebuah pilihan, sekaligus juga sebuah keterpaksaan. Sebab nasiblah yang menggiring jasad ini untuk melakoni proses hidup di area perkebunan kopi.


Jalan meninkung meninggalkan kampung. Lekuk terkutuk memisahkan diri dari dunia kota yang gemerlap di luar sana. "Kami adalah koloni yang menemukan kedinamisan hidup di tempat ini, maka kami akan melakoninya hingga badan menua hingga anak anak kami kelak mendewasa untuk memberi warna lain dalam segala hari yang berganti," Demikian kata seorang petani menegaskan karakteristik masyarakat pekebun di tempat ini.


Semangat dan pengorbanan serta waktu yang panjang dilalui, kadang kala sering berbanding terbalik dengan hasil. Alam yang subur, meski medan-medannya sulit, semangat dan keberanian mendaki serta bertahan di ladang ladang kopi bukan jaminan sebuah kemakmuran. Hidup sulit selalu saja tak serta merta bisa disingkirkan. Sebab hingga hari ini, dan sejak tulisan ini diluncurkan sebagai bagian atas sebuah keprihatinan, para pekebun kopi tetap saja hidup yang masih jauh dari kata cukup, apalagi layak, apalagi sejahtera.

Hasil panen kopi yang sejatinya hanya dapat dipetik setahun sekali, hanya segelitir kecil saja bisa memenuhi kebutuhan, bahkan yang umum terjadi di wilayah ini adalah 'datang musim maka datang pula penagih hutang, sehingga habis musim maka habis pula hasil yang ditambang.' Akibatnya, paceklik menjadi sebuah harga mati yang mesti dituntun sepanjang tahun bahkan bertahun tahun. Tetapi anehnya, masyarakat di sini tetap tersenyum bahagia. Bahkan tak pernah ada satu pun yang memperlihatkan sikap putus asa. "Hari ini kami berjuang, esok kami tetap dalam sebuah perjuangan, dan kami bahagia atas segala proses yang sulit ini!" Demikian semangat mereka berapi-api.


Salah seorang jurnalis Simalaba (Riduan Hamsyah) pernah 2 tahun tinggal di Kampung Talang Kapuk, Desa Sinar Luas, Kec. Kebun Tebu-Lampung Barat. Merasakan kedinamisan hidup para petani di sini, melakukan riset-riset kecil untuk membuat sebuah dokumen tercatat yang kelak akan dirilis menjadi sebuah buku. Menurut pengamatan yang kami lakukan, koloni masyarakat yang hidup di wilayah ini, atau berbagai wilayah Lampung Barat pada umumnya adalah manusia manusia yang hebat serta bermental baja. Perjuangan untuk meraih kehidupan yang unik tersaji di sini. Koloni manusia yang bahagia dan tak pernah mengeluh. Ya, mereka adalah para pekebun kopi, para pejuang hasil hasil alam yang telah memiliki andil banyak untuk mengurangi tingkat pengangguran di republik ini. Pemerintah mungkin tidak menyadari hal tersebut. Betapa di sudut. Di sebuah sisi lain tanah ini ada sekelompok orang yang setia mempertahankan jati diri, karakter tangguh yang jauh dari kesan mengeluh. Sayangnya, dan hebatnya, ratusan hektar tanah yang mereka pergunakan untuk menanam adalah 100% hutan kawasan atau hutan lindung yang tak sepenuhnya dapat mereka miliki. Tetapi mereka ikut serta menjaga hutan ini dan tetap menjaga pohon pohon bahkan menanam aneka pohon di antara pohon kopi yang mereka harapkan bisa mensejahterakan keturunan.


Hal lain yang masih sangat disayangkan adalah ketika musim petik tiba, berjuta-juta kilogram kopi mesti diangkut ke Bandar Lampung (Ibu Kota Provinsi Lampung). Selanjutnya entah akan dibuat apa serta dibawa kemana lagi? Yang jelas masyarakat di sini hanya menyediakan bahan baku saja untuk orang orang kota yang pintar dan telah lama merupa berbagai nama pengusaha.

Demikian sedikit gambaran tentang realitas kehidupan masyarakat yang hidup di samping pohon-pohon kopi. Semoga suatu saat nanti pemerintah setempat punya banyak relasi dan modal untuk membangun perusahaan-perusahaan kopi berskala nasional di wilayah ini sehingga kopi masyarakat tidak diangkut ke luar Lampung Barat dan sehingga harga jual bisa lebih tinggi dari harga yang ada saat ini. (Ulasan Redaksi Simalaba)



Tidak ada komentar