HEADLINE

NEGERI SINEGAL Cermin Kedinamisan Umat Beragama di Tanah Afrika

 


(Meneruskan dari sumber AkuIslam.Id)

Inilah sebuah negeri yang merupakan bagian Afrika Barat, memiliki akar Islam yang kuat. Di sana, ruh ajaran kaum sufi menjadi sendi-sendi pembangunan kehidupan masyarakat.

Sejuk. Itulah kesan yang didapat oleh siapa saja yang mengetahui kehidupan masyarakat muslim di Senegal. Tengoklah sebuah cerita warga Senegal bernama Maria Victoria Corea. Maria merupakan seorang Katolik teguh, tapi di rumahnya ada tumpukan sajadah yang ia sediakan untuk kerabat muslimnya jika berkunjung dan ingin shalat di rumahnya.


Maria mempunyai dua orang saudara yang memilih menjadi Muslim. Keponakannya dari perkawinan antara agama juga sebagian besar memilih menjadi Muslim. Untuk merekalah sajadah-sajadah di rumah Maria dibentangkan.

"Selalu ada sajadah di rumah saya untuk keponakan-keponakan Muslim saya dan Muslim yang lain yang mengunjungi saya," kata perempuan yang sudah berusia lanjut itu.

Maria selalu yakin bahwa perbedaan bukanlah pemicu konflik apalagi permusuhan yang memakan korban besar. Tak ada perbedaan yang harus disikapi seperti itu, menurut Maria. Baginya semua bisa berjalan dengan baik asalkan ada niat baik untuk saling menghormati. Makanya tak heran jika pada bulan Ramadhan, Maria tak segan bersusah payah memasak untuk berbuka puasa bagi para kerabatnya itu.

Aroma seperti itu adalah aroma yang sangat khas di Senegal. Jika momen itu melibatkan warga non-muslim sebagai aktor utamanya, maka 95% muslim Senegal adalah aktor lain yang membuat kehidupan toleran model itu menjadi drama sejuk yang diputar tiap hari di negeri pesepakbola el-Hadji Diouf itu.

Sembilan puluh lima persen muslim dari sekitar 11 juta penduduk Senegal adalah komunitas yang senantiasa memperlakukan saudara non-muslimnya dengan sangat baik. Harmoni yang ada pada keluarga Maria adalah juga harmoni yang ada di setiap rumah warga Senegal lainnya.

Di Senegal, adalah pemandangan biasa jika para Muslim mengundang teman-teman dan tetangganya yang Kristen untuk merayakan Tabaski (istilah lokal untuk Idul Adha), mengenang ketaatan Nabi Ibrahim as kepada Sang Khalik. Begitu juga pada Idul Fitri dan perayaan Islam lainnya.

Di kota Ziguinchor, sebelah selatan kawasan Casamance yang didominasi umat Kristen, warga Kristen dan muslim di makamkan di pekuburan yang sama. Tidak ada ego yang harus dijunjung atau perasaan menguasai satu sama lain. "Tapi yang harus dijunjung adalah perdamaian," ujar Presiden Senegal Abdoulaye Wade yang kini menjadi ketua OKI (Organisasi Negara-Negara Islam Dunia).

Senegal menerapkan konstitusi sekuler. Pemerintah merayakan hari raya Muslim, juga Kristen. Pemerintah membantu jamaah haji ke Mekkah, tapi juga membantu kaum Katolik yang berziarah ke Vatikan. Namun rasa saling hormat adalah institusi sebenarnya dari Senegal. Tak heran jika pada kasus pelecehan Nabi Muhammad SAW, warga kristen Senegal sangat vokal mengkritik pemuatan kartun tersebut.

Sejarah modern Senegal memang dicitrakan dengan toleransi. Presiden pertamanya Katolik, yakni penyair dan politikus Leopold Sedar Senghor, yang memerintah selama 20 tahun setelah kemerdekaan di bekas jajahan Prancis itu. Persaudaraan Islam ada di semua lapisan, baik pimpinan atau rakyat.

PERAN PARA SUFI

Persaudaraan model ini yang juga diikuti dengan ketaatan yang cukup mencolok oleh warga muslim Senegal untuk menjalankan ajaran Islam lahir dari akar sufisme di sana. Aliran tarekat sufi adalah faktor utama tersebarnya agama Islam dengan mudah dan cepat di Senegal dan negara-negara di Afrika Barat lainnya. Ada dua aliran tarekat yang banyak dianut di Senegal, yaitu Tarekat Muridiyah dan Tijaniyah.

Pada saat Senegal meraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1965, jumlah penduduk negara tersebut hanya sekitar lima juta jiwa, dengan mayoritas beragama Islam. Penganut Tarekat Tijaniyah saat itu diperkirakan berjumlah dua juta pengikut. Adapun penganut Tarekat Muridiyah sekitar satu setengah juta pengikut.


Penganut animisme diperkirakan hanya tiga perempat juta jiwa. Kaum Muslim di Senegal pascakemerdekaan dikenal segera berhasil memegang sendi-sendi pemerintahan dan perekonomian negara. Oleh karena itu, kaum Muslim di Senegal memegang hegemoni negara.

Sejak zaman penjajahan Perancis, kelompok-kelompok tarekat dan pemimpinnya memainkan peran penting dalam politik. Perancis sangat tergantung kepada para pemimpin tarekat dalam usahanya menjalin kerjasama dengan kaum petani.

Pada awal abad ke-20, rakyat Senegal mulai menuntut kemerdekaan. Tahun 1956 Senegal mengambil-alih kontrol atas politik dalam negeri, pada tanggal 20 Juni 1960 Senegal memperoleh kemerdekaan penuh dari Perancis.

Sebelumnya, pada tahun 1959 Senegal bersama Sudah Perancis (Sekarang Mali) membentuk federasi, tetapi tanggal 20 Agustus 1960 Senegal menarik diri dari federasi itu. Dalam gerakan nasionalisme seteleh Perang Dunia II dan dalam perjuangan kemerdekaan, para pemimpin tarekat memainkan peranan penting.

Tarekat Muridiyah merupakan salah satu tarekat yang banyak memikat penduduk Senegal dan Afrika Barat. Tarekat Muridiyah didirikan oleh Sheikh Ahmed Bamba tahun 1886. Semua Tarekat Maridiyah hanya cabang dari Tarekat Qadiriyah.

Pada saat Senegal meraih kemerdekaan pada tahuun 1960, jumlah pengikut Tarekat Muridiyah mencapai satu setengah juta orang. Salah seorang ulama yang juga berjasa menyebarkan Islam di Senegal dan Afrika Barat adalah Sheikh Hamiyallah. Ia adalah pendiri dan pemimpin gerakan pembaru "Hamiliyah" yang lahir dari kandungan Tarekat Tijaniyah. Ia pernah diasingkan kolonial Perancis beberapa kali.

Tarekat Tijaniyah juga merupakan salah satu tarekat yang berjasa menyebarkan Islam di Senegal dan negara tetangganya. Adalah Sheikh Abdou Lah merupakan ulama besar dan pemimpin penting dari Tarekat Tijaniyah. Ia mengenal Tarekat Tijaniyah di kota Fez, Maroko. Ia sempat tinggal di Gambia dan Fez, lalu menetap di Kaolack, Senegal, tahun 1910.

Pasca wafatnya pada tahun 1922, putranya bernama Muhammad menggantikan ayahnya memimpin Tarekat Tijaniyah. Namun, putra kedua Sheikh Abdou Lah bernama Ibrahim memilih memisahkan diri dari kakaknya (Muhammad) dan mendirikan cabang Tarekat Tijaniyah sendiri.

Para pemimpin tarekat Tijaniyah di negara-negara Afrika Barat, seperti Nigeria, Gambia, Togo, Ghana, Guinea Bissau, Guinea, Mali dan Mauritania, segera menobatkan Ibrahim sebagai pemimpin tertinggi mereka. Ibrahim pun lalu sering berkeliling di wilayah Afrika Barat.

Salah satu ajarannya yang dianggap pembaruan pada saat itu adalah mengizinkan menggunakan semua alat media komunikasi, seperti radio, untuk menyebarkan dakwah Islam. Ia juga mewajibkan kaum wanita dan anak kecil terlibat dalam aktivitas keagamaan.

Ajaran-ajaran dari ulama-ulama inilah yang kini menyelimuti kehidupan muslim Senegal. Potret ketaatan itu bisa kita temui jika kita mengunjungi Dakar, ibukota Senegal. Dakar sendiri bukanlah kota asing di dunia, karena tempat itu adalah area finish bagi salah satu ajang reli mobil dan motor paling prestisius di dunia yakni Reli Paris-Dakar. Di Dakar ada sebuah masjid besar yang megah dan berwarna keputihan yang tak pernah sepi dari jamaah, yang seperti menjadi komandan ribuan masjid lain untuk senantiasa menyeru warga muslim Senegal untuk sujud kepada Rabb-nya.

Warga Dakar kerap ditemui memakai kopiah haji dan menggelar shalat berjamaah di jalanan. Di pusat-pusat bisnis dan pasar, para pedagang umumnya langsung menggelar shalat berjamaah ketika waktu shalat tiba. Para pemain bola, baik profesional, semi-pro, atau amatir juga umumnya tak meninggalkan puasa Ramadan sekalipun harus berlatih dan bertanding dalam kondisi lapar. Bagi mereka itu merupakan ujian bagi iman.

SEJARAH NEGERI SINGA

Islam diperkirakan sudah ada si Senegal sejak abad 11. Senegal terletak di bagian selatan Gurun Sahara. Dan Senegal sampai ke bagian atas lembah Sungai Nil, telah ditempati orang kulit hitam Afrika sejak zaman prasejarah. Dari tahun 300 telah berdiri kekaisaran kuno Ghana, Mali dan Songhai (di Mali tengah). Kemudian berdiri pula pemerintahan-pemerintahan kecil di Senegal, yakni Tukulor, Serer dan Wolof.


Suku-suku negro yang tinggal di Senegal dan daerah tetangganya diislamkan oleh kelompok al-Murabitun dan pengikut Tarekat Tijaniah. Gerakan Murabitun yang kemudian menjadi suatu dinasti yang memerintah hingga 1147 dengan ibu kota al-Marakisy (sekarang Marakech) di Maroko. Tarekat Tijaniah didirikan oleh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Salim at-Tijani dan berkembang di Maroko, Aljazair, Sudah, Guinea dan Senegal.

Senegal yang dikalangan negara-negara Afrika dikenal sebagai negeri "Les Lions de la Tonga" atau "Negeri Singa Nan Ramah", terletak di ujung paling barat benua Afrika dengan kondisi wilayah berupa dataran gurun di sebelah utara dan alam tropis di sebelah selatan.

Pada masa lalu, antara abad 17-18, Senegal adalah "transshipment poin" kegiatan perdagangan (ekspor) budak, gading gajah dan emas, yang menjadikan negeri ini cukup dikenal oleh masyarakat Eropa. Sekalipun menggantungkan kehidupan ekonominya pada sektor pertanian, negeri itu merupakan negara yang paling maju dalam hal aktivitas kepariwisatannya di Afrika Barat, apalagi bila menyinggung tentang Pulau Goree.

Masyarakat Senegal mengagungkan Pulau Goree, pulau yang dapat dijangkau dari Dakar dengan perjalanan 20 menit, sekalipun pulau itu menyimpan sejarah kelam negeri tersebut. Pulau Goree yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia dan terkenal di berbagai belahan dunia.

Konon, pada abad 16 hingga pertengahan 19, Goree adalah tempat pengurungan budak. Di pulau itu ada suatu tempat yang disebut sebagai rumah budak "Maison des Esclaves", tempat wanita, anak-anak, dan pria kulit hitam dikurung sebelum dikapalkan ke benua Amerika.

Banyak kepala negara, negarawan dan para pejabat tinggi negara lainnya yang berkunjung ke Senegal untuk menyempatkan diri mengunjungi pulau Goree dan menyaksikan dampak dan kekejaman kaum penjajah waktu itu.

Pendudukan oleh sejumlah negara secara berganti-ganti tidak serta merta menghilangkan akar budaya Senegal. Hal itu tercermin dari beragamnya bahasa daerah yang masih digunakan, antara lain Wolof (yang digunakan sebagian besar warga Senegal), Pular, Soninke, Sereer, Mandinka, dan Diola.

Kini Senegal dapat menatap masa depannya dengan lebih optimis. Dengan kesejukan Islam dan toleransi di sana, juga dengan posisinya sebagai ketuka OKI Senegal bisa menjadi motor bagi kehidupan dunia Islam yang lebih baik dan bermartabat.

Semoga menambah wawasan

Tidak ada komentar