HEADLINE

Edisi Rabu, 23 Agustus 2017_ PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA (Lampung Barat)




KUTUNGGU KAU DI HALIM

Adakah kabar untukku
yang kau bawa dari belahan negeri asing?
Untuk kita bicarakan
di meja yang lama dipersiapkan. 

Kabari aku, seperti halnya yang paling kau rindu
sejatinya engkau merasakan benar
tentang menunggu
adalah lelah yang celingukkan. 

Kutunggu di Halim
dengan harapan serupa bayangan
tetapi
akan kunikmati sebuah keyakinan
yang kusimpan jauh ke dalam larut malam. 

Lampung Barat, 21 Agustus 2017.


KEPADA PUCUK PUISI
(Untuk Riduan Hamsyah)


Kemarin, ada nafas, tersekat
tunas tunas dari tubuhmu
ramai ramai
menyembunyikan air mata
antara
belum mempersiapkan diri
untuk berdamai dengan kehilangan.

Ya, ritual itu
menenggelamkan tubuhku
ke balik pencarian
atau penegasan riwayat
tetapi
aku juga memberi ruang pada kelopak mataku
yang menganak sungai
mungkin
kembali harus kukatakan
aku memang lelaki
tetapinyalagi
ada sisi yang masih rapuh
untuk menempatkan kalimat pergi.

Dengan kata lain
aku hanya menemui Tuhan
menyerahkan segudang catatan doa
yang mungkin, entah dipercaya atawa tidak
sekiranya
jalan satu-satunya yang kerap kutemukan.

Baiklah, beri aku kabar lewat pucuk puisi
supaya diksi yang kupungut
dapat kurangkai menjadi kata, menjadi sajak
apapun
yang tentunya bujukan kepada Tuhan, iya, dan telah terjawab. 

Lampung Barat, 21 Agustus 2017.


ISYARAT YANG DINGIN

Jantungmu yang berkedip di pelupuk malam, lebam
menuai banyak tanya
bahkan berlebih
isyarat hati, terkadang bersimpangan dengan pola ucap.

Waktu sebelumnya
buah kekata
itu, utuh
seperti lintasan Tol Jagorawi
dalam kapasitas ini, kita tak bermuatan masalalu
yang menumpuk perih, atawa sekarat perlahan
tetapi
kita telah merenggangkan jejak
dari apa saja yang disebut dahulu.

Hai, baru kemarin kita baik baik saja!
Lantas apa lagi yang memangkas selera
sesungguhnya percintaan belumlah tunai
atau tawa kita tabur di ruang tamu
membicarakan warna yang berbeda
tetapinyalagi
kita musti mengakui
bila halnya rencana
acap kali melukai kenyataan. 

Lampung Barat, 22 Agustus 2017.


KUSEBUT KAU PUISI

Biar saja isyarat kita tetap remang
hanya kita raba melalui celah yang indah
menikmati kehidupannya dengan humanis. 

Kusebut kau puisi
wilayah yang selalu samar
sentuh, hanya bila kita menjadi bagian
dan hidup di tubuh puisi. 

Puisi, adalah puisi. Tetap, mengalirkan degup
juga birahi seni yang membuncah di hulu dada
dan pelan-pelan
menafkahi urat nadi. 

Ya, sebagian kita telah pecah
dan berserakan di jalan
sebagai kekunang, atau kupu kupu
yang tentunya, kita bertualang di ranah kata kata
lalu kita berjumpa, dan kusebut kau puisiku. 

Lampung Barat, 17 Agustus 2017.


EMBUN PAGI DI TERAS CIREBON

Ketika memeriksa gelisah yang pecah
jauh ke dalam diriku
lalu, hilangnya begitu nyata.

Embun pagi di teras cirebon
menggambar
langitnya yang digantungi mendung
juga, tentang mimpi yang tertiup angin.

Berulang-ulang
ingin kuganti rautnya dengan puisi
agar kubaca disetiap tatapan
biar kagum, memenuhi seluk-beluk ingatan.

Sesal yang kronis, kita pernah melukai kemesraan
dari sisi yang tidak difahami, dan
ini, kita hanya diam
ketika sunyi kian beraksi.

Lampung Barat, 14 Agustus 2017.


MENUJU AWAN

Ketika kaki ini lebih tinggi dari awan
aku sadar benar, ini bukan kebetulan
tetapi jauh di dasar sana
jiwaku tetaplah akar
yang erat di tubuh bumi.

Hasrat menuju awan, atau menjadi mungkin menuju langit
untuk memetik beberapa bintang, lalu menuliskan puisi dari sisi yang tersembunyi. 

Sejatinya tunas-tunas tubuhku
ketika masanya tiba
ia dapat meraba segelintir biji pikir
yang kulandaskan menuju awan.

Lampung Barat, 17 Agustus 2017.


TUBUH PUISI

Di tubuh puisi, aku hidup
sebagai lelaki petani
yang tumbuh
dan
melihat jauh ke hari esok
untuk kita saling berpeluk-cium
juga memaknai garis nasib.

Karena, ini, kita adalah satu peranan
bermukim di persendian
yang wilayahnya masing-masing bukan keinginan
tetapi
hakikatnya Tuhan yang berbicara
dalam bahasa yang disebut alasan.

Ya, aku tak berniat membeli aturan
tetapi
mengikuti pelaturan, cukup membuat nyaman
ada kalanya doaku merajuk
namun
itu demi masa depan ketika mata ini terpejam selamanya.

Di tubuh puisi
ketika melati disemai, ketika teratai berkuncup di hamparan sajadah
air mata ini pembasuh noda noda di sekujur
atas prilaku, dan jebakkan pekat itu adalah khilafku. 

Lampung Barat, 15 Agustus 2017.




Tentang Penulis:

Q Alsungkawa, Tinggal di pekon Ciptamulya, kec: Kebon Tebu, Lampung Batat, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com. Puisi puisinya juga tergabung dalam buku antolog MY HOPE 2017, EMBUN EMBUN PUISI, EMBUN PAGI LERENG PESAGI, yang terbaru karya dimuat di majalah SIMALABA persi cetak edisi perdana 2017, dan di publikasikan persi online. Aktif mengikuti event event bertarap Nasional, dll.

Tidak ada komentar