HEADLINE

Edisi Jumat, 15 September 2017_ Cerpen MAULA NUR BAETY (Jakarta)_ASSALAMUALAIKUM CINTA



Terlalu dangkal untuk menggapaimu, senja. Bahkan terlampau jauh untuk merengkuhmu, merasakan hangatnya pancaran sinarmu. Tempatmu sungguh tak mampu membuat seorang pun sanggup menjangkaumu selain Sang Pencipta. 

Aku bagai kumbang jalanan yang mencari bunga ternyaman untuk disinggahi, menjadi rumah tempatku menampung segala bekalku. Tak seorang pun tahu, arti dan maksud niatku untuk mengubah segala yang tidak dapat aku lakukan jika aku pergi ke pangkuan-Nya. 

Tuhan. 
Tidak sedikit pula aku tidak mengeluh, mungkin hambaMu masih merintis untuk lebih dalam berhijrah. 

Aku termenung di keramaian kereta yang akan mengantarkan aku dan adikku pulang, selepas pergi ke kediaman sahabatku yang begitu merindukan celoteh adik kecilku. 

Sekilas aku melihat anak kecil menatap ice cream yang di genggam adikku, dengan satu tangan memegang perutnya. 

Aku langsung menoleh ke adikku.  

"Kasih ini ke adik itu Febri, tawarin dahulu sebelum-kasih ya sayang," aku berkata lirih kepada adikku yang langsung terbengong bingung. 

"Tapi-" Belum selesai menjawab aku menyela lirih lagi.

"Apa kata Bunda. Berbagi itu indah," ucapku yang langsung membuat adikku tersenyum tulus dan mengangguk pelan. 

Aku tahu, adikku takkan pernah berani membantah jika sudah menyangkut pesan dan kesan Bunda.

Aku melihat ibu sang anak kecil itu berterima kasih dan berkata sesuatu dari jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh namun kepadatan di dalam kereta membuatnya tidak terdengar, ia membungkuk dan mengatupkan kedua tangannya di dada sebagai jawaban kembali kasih. 

Adikku duduk lagi di sebelahku dengan senyum ceria membalas, pujian orang-orang sekitarnya yang bilang cantik sekali dan manis. 

Tanpa di sadari seseorang disebelah  memerhatikan dan mendengar setiap ucapan lirih wanita dan adik kecil disamping yang sedang bercanda gurau dengan penuh kasih sayang, pria itu membantin. Jika Engkau kehendaki aku dengannya, permudahkanlah jalan untuk mengenalnya. 

Aku berjalan, satu tangan menggandeng tangan adikku dan satu lagi membawa kantong makanan yang baru dibelinya di dekat stasiun Palmerah.

"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Salamku dan adikku bersamaan. 

Aku melihat Bunda dan Ayah serta Nenek sedang berkumpul di ruang makan. Mereka menjawab salam serempak. 


Setelah meletakkan makanan di meja makan dan menyalami semuanya, aku langsung bergegas ke kamar. 


Aku membaca salah satu novel hadiah dari sahabatku, yang jauh di Malang. 
Novel ini banyak banget pelajaran dan ilmu yang dapat kuambil. Sangat menginspirasiku untuk memantaskan diri menjadi lebih baik sebelum menjadi tanggung jawab orang lain. 

Setelah selesai aku berjalan ke rak buku dikamarku, dan mengambil novel kado dari penulisnya langsung untukku. Novel Maharku Surah Ar-Rahman. 

Aku duduk di balkon, menatap rona senja yang menghias sore ini.

Terlalu indah kau senja, hingga tidak ada orang yang mungkin mengabaikan pemandangan yang kau pancarkan dari aura sinarmu. Lirihku dan duduk membaca novel itu sampai aku menangis tersedu, haru akan keindahan dan kebahagian yang tercipta dari cerita tersebut. 

Masya Allah ... sungguh beruntungnya jika aku mendapatkan lelaki seperti yang dicerita tersebut. Batinku sekaligus berdoa dan berharap. 


Saat mendengar azan ia masuk ke dalam dan berjalan menuju masjid bersama keluarganya. 

Takdir mungkin sedang berpihak kepada pria yang bernama Muhammad Fauzi Aldiansyah. Ia melihat dengan jelas wanita yang dilihatnya di kereta. 


Terima kasih Allah, Engkau beri petunjuk seindah ini. Batinku haru akan bisa bertemu kembali dengan wanita yang mengenakan gamis syar'i dan cadar yang membingkai wajahnya. 

Aku terus berjalan melihat ia bergurau dengan adiknya, bahkan ketika ia memasuki masjid yang sama denganku. 

Selepas sholat tanpa sengaja aku bareng dengan orangtuanya, yang mengenal baik keluargaku. Walau aku dan kedua orangtuaku warga baru di sini.

"Ini Nak Muhammad Fauzi- Anaknya Pak Alamsyah?" tanya Pak Dahlan kepadaku yang langsung kubalas senyum.

"Enggih, Paman," jawabku dengan anggukan kepala.

"Pulang sejak kapan, Nak?" tanyanya kembali beliau.

"Kemarin sore, Paman," ucapku sesopan mungkin. 


Obrollan para lelaki selesai setelah sampai di rumah Pak Dahlan, Ayah dari wanita yang akan ia persunting segera. 


Di kamar bermotif bunga dan dinding hijau muda, menambah kesejukkan tersendiri bagi siapa saja yang masuk. Atap yang berhias gambar bunga dan corak langit yang tak beraturan mempercantik mata memandang ke atas. 

Wanita yang bernama Annisa Nur Istiqomah bernyanyi kecil, dengan mata memandang rembulan. Lagu yang ia sukai saat ia kehilangan seseorang yang dinanti. 

Cinta Dalam Ikhlas

- Kang Abay - 

Dalam hampa kurasa hadirMu 
Sesak dadaku menghilang 
Kuterima semua keputusanMu 
Dan cintaMu yang kini kudamba selalu 

Kuikuti Gravitasi hati 
Kupasrahkan perasaan 
Hanya padaMu kubertumpu, dan meminta 
Dia milikmu...Sampaikanlah Pesanku

Tak akan lupakanmu 
Tapi kuharap bisa mengikhlaskan cinta 
Karena kuyakin rencanaNya lebih Indah 
Jika berjodoh kita kan disatukaNya 

Tak mau hapuskanmu 
Tapi kurela melepasmu kepadaNya 
Karena kuyakin rencanaNya yang terbaik 
Jika tak bersatu, Allah kan pilihkan jodoh yang lebih baik

"Aku mencintaimu...Tapi lebih mengharapkanNya.
Aku merindukanmu dalam doa..." 

Aku tanpa sadar menangis, mengingat masa di mana aku dan dia pernah mengucap janji. Namun hanya angan sebabnya ia pergi meninggalkan cintaku yang terlanjur dalam. Hingga menyisakkan luka yang begitu perih. 

Aku tahu. Cinta tidak seutuhnya bisa kita genggam, semua itu atas keridaNya. 

Terlalu menyakitkan untuk kuingat, dan aku memilih ikhlas melepasmu kekasih.

Pagi-pagi sekali aku dikagetkan oleh berita yang mengejutkan, lebih mengejutkan dari mendapatkan novel.


Ibu berjalan masuk setelah mengetuk pintu dan mengucap salam. Ia duduk di pinggir ranjangku dan membelai kepalaku yang masih duduk di tempat tidur.

"Nak, di depan ada seorang pemuda baik yang datang ingin mengkhitbahmu, ia ingin mengenalmu. Ia ingin lebih dekat denganmu namun dengan status halal, apa kamu bersedia?" ujar ibuku yang membuatku setengah melongo. 

"Tapi Bun-" belum selesai menjawab, disela sang Bunda. 

"Temui dahulu sayang, nanti baru kamu berikan jawaban." Jawab ibuku dengan senyum teduh dan menuntunku menuju ruang tamu.

Aku berjalan nunduk, tanpa ingin melihat wajahnya sampai aku benar-benar halal.  

Saat tiba di ruang tamu. Aku langsung duduk di samping Ayah. 

"Bismillaahir Rahmaanir Rahiim ... saya Muhammad Fauzi Aldiansyah, datang ingin mengkhitbah ukhty. Apakah ukhty mau menjadi penyempurna hidupku?" ucap pria itu yang ternyata baru kutahu ia tetangga tidak jauh dari rumah kami. 

Aku bingung. Sungguh, ini terlalu tiba-tiba. Aku bahkan belum mengenal lebih jauh, memang lebih baik berkenalan ketika sudah halal sehingga tidak membuat kemungkinan setan menghampiri hingga dosa yang tidak diingkan tidak terjadi. 

"Afwan. Semua kuserahkan kepada-Nya. Jika menurut Ayah dan Bunda ia pilihan terbaik, in syaa Allah baik untukku juga." Jawabku lirih namun mampu terdengar di telinga semua yang ada diruangan itu, dengan sekali anggukan.

Alhamdulillah. Semua menarik nafas lega setelah mendapat jawaban yang ditunggu dengan hati berdebar, seluruh orang yang ada diruangan itu. 

Hari terasa cepat, bulan kian mengkikis dari Januari ke Februari. Silam lalu, aku terluka. Semoga masa yang akan datang lebih indah dari yang kita duga. 

Hari pernikahan itu tiba. Dimana janji suci sehidup semati terucap, dihadapan Pak Penghulu dan beberapa wali keluarga. 

Betapa aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini, lelaki yang kini menjadi suamiku. 

Ia punya cara tersendiri untuk menjagaku, perhatiannya. Ia selalu memberikan apapun melalui adikku, hingga kita tidak pernah bertemu secara intens. Ia tahu segala hal, apa yang aku suka dan tidak. 


Malam mulai hadir, keletihan terasa jelas itu pasti. Namun tidak memudarkan senyum aku dan suamiku. 

Aku berjalan lebih dulu masuk kamar, karena sudah terlampau letih sedangkan para keluarga masih berkumpul.

Kubuka diaryku setelah menghapus riasan diwajahku. 

Dear diary. 

Assalamu'alaikum diary. Selamat datang menyambut dunia yang baru, dunia yang kamu lalui bersama keluarga kecilmu. Dunia yang hanya bisa kau jalani dengan imammu. Jika Engkau kehendaki karunia titipanMu, sungguh pelengkap yang sempurna yang tidak bisa digambarkan seperti apa kebahagian itu.  Semoga langkahMu selalu terbuka untuk kami. 

Aku menutup diary itu setelah mendengar langkah kaki mendekat. Ya Allah ... debar ini sungguh begitu kuat. 

Pintu terbuka menampilkan wajah yang begitu teduh dengan senyum yang mampu menghilangkan lelahku, ia bahkan tampak lebih gagah dari yang kulihat di kartu undangan pernikahan. 

"Assalamu'alaikum bidadariku, bolehkah aku masuk. Masuk kehidupanmu, menjadi bagian dari hidupmu, menjadi Imam dalam sholatmu, menjadi Ayah untuk anak-anak kita kelak, tidak ada yang aku inginkan selain menginginkanmu menjadi pelengkap hidupku dan bahagia bersamamu. Selamat 
datang menjadi tulang rusukku cinta," ucapnya lembut dihadapanku dengan bersujud menggenggam tanganku penuh kelembutan. 

Aku tak mampu menjawab, air mata haru sekaligus bahagia sudah sedari tadi mengucur deras. 

"Wa'alaikumussalam cinta. Datanglah dan dekap aku menjadi wanita sekaligus istri yang salihah, yang berbakti kepada suamiku dan menjadi ibu dari anak-anak kita," jawabku tak mampu menahan kenahagian ini. 

"Alhamdulillah ... sholat yuk bidadariku, kita gapai ridaNya di pernikahan kita semoga selamanya. Aamiin." Ucapnya menuntunku bangun dan sholat berjamaah. 

Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan, sungguh jalanMu luar biasa. SkenarioMu begitu indah Tuhan. 

Cinta bisa datang tanpa kita duga, namun. Cinta juga bisa pergi tanpa kita sangka. Jangan terlalu dalam mencintai jika belum ada komitmen, karena kemungkinan putus ada. Cintai ia yang menjadi suamimu dengan sepenuhnya sebabnya terjalinnya kesetiaan dimulai dari kita sendiri. 


Jakarta, 14 September 2017.







Tentang penulis

Maula Nur Baety. Lahir di Brebes, Jawa Tengah. Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar