HEADLINE

Cerpen A. Warits Rovi_GULA YANG PAHIT

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 1 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)


Surat dari Muni telah kulipat dan kusimpan di laci lemari. Kutangkup sepasang tangan lalu kutopangi dagu, aku termangu, lepas pandang ke luar jendela. Pagi hari, ricik butir embun mengeramasi daunan. Jalan bersapal di depan rumah masih terlihat basah.

Sejenak, isi Surat Muni menari dalam kepala. Tapi, aku tak peduli dengan segala omong yang tertuang lewat kata-kata yang ia tulis. Terlalu bodoh bagiku bila harus percaya janji-janji Muni. Tujuh tahun kami berpacaran, sejak sama-sama kuliah, hingga kini kami jauh terpisah, hidup di tempat yang berbeda—di kampung halaman masing-masing—dalam jarak yang melelahkan. Sejak saat itu pula, janji Muni seputar cinta selalu berujung sia-sia. Mulanya aku mencoba bertahan untuk sabar dan tetap merespon baik hubungan kami, karena aku sangat kagum kepada Muni yang tampan dan cerdas, tapi pada akhirnya aku cepat buat keputusan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Hanya saja Muni masih kerap mengirim surat kepadaku. Masih terus berharap untuk menyauh rasa cintaku kembali. Di surat itu kadang Muni merengek-rengek, mohon aku memaafkan segala kesalahannya, seperti pendosa yang baru insyaf dan seketika takut kepada neraka. Lucunya, ia menyampaikan segala isi hatinya itu masih tetap melalui surat, dan enggan untuk menggunakan media sosial di tengah zaman digital seperti sekarang. Aku menduga itu trik saja. Intinya, aku tetap tak ingin bercinta lagi dengan Muni. Aku tak peduli lagi isi surat-suratnya.

Aku masih termangu dengan dagu bertopang sepasang tangkup tangan yang bertumpu ke sisi bawah kayu jendela. Angin mengipas wajah dan rambutku. Entah kenapa dari sekian surat yang Muni tulis, ada satu paragraf yang masih terngiang di telingaku. “Datanglah kau ke dusunku, baris pohon siwalan memagar ladang, di pangkal pucuknya beberapa sanggul mayang tengah disadap dan mericik lahang ke dalam timba, para penyadap lahang mengambilnya pada sore dan pagi hari. Setiba di rumah, lahang akan dimasak oleh istrinya, didih mengepul di atas tungku, sekitar dua jam kemudian mengkristal menjadi gula. Gula yang manis. Semanis dirimu.”. Kalimat itu sangat memikat hatiku, tepatnya cerita tentang pohon siwalan dan gula, ia benar-benar mendorong hatiku untuk datang ke kampung Muni. Dan untuk menyiasati agar aku tak terkesan terpengaruh oleh surat Muni, nanti ke sana aku bisa memakai modus pura-pura untuk silaturrahim ke rumah paman, yang kebetulan satu desa dengan Muni.

Bayangan kami bertiga mendatar sepi di dekat tumpukan ilalang. Matahari sore yang terus menua, menyorot tubuh kami yang sedang duduk beralas tikar daun pandan. Aku, Kak Sika—iparku— dan Muni masih larut dalam cakap seputar pohon siwalan, lahang dan gula. Angin mengusap wajah kami dengan desir yang pelan. Dan di sela waktu yang serius itu, kami pun cekikikan, tak sia-sia aku datang ke sini.

Senja tergurat jingga di gaun langit. Beberapa orang lelaki bertelanjang dada mulai terlihat berjalan menuju pohon siwalan. Empat sampai enam timba yang terbuat dari daun siwalan bergelantungan di ujung pikulan bambu yang ia rentang di bahu. Ketika mereka hendak memanjat pohon siwalan, satu timba dipacak ke sabuk yang mereka kenakan. Di sabuk itu juga ada tambut1 berisi laru, bersisian dengan pangerat2 yang mengeram dalam sarung kayu. Sedang tangan para penyadap lahang masing-masing memegang salampar3. Dan sebagain dari mereka membawa pangape’4, khusus bagi mereka yang hendak ngaremo5. Ada juga yang membawa bajut6 sebagai pembungkus mayang agar aman dari gangguan tikus dan kalong. Aku jadi tahu istilah-istilah itu setelah Muni menceritakan semuanya.

Ketika para penyadap lahang mulai memanjat, suara gesekan salampar sahut-menyahut antar pohon siwalan, menggubah syair absurd suara dusun, seolah dikirim ke langit sebagai doa. Kaki-kaki mereka menempel ke takik yang mengkilap. Terus memanjat menuju puncak, yang menurutku sama seperti puncak penuh ancaman maut oleh sebab posisinya yang begitu tinggi. Setelah beberapa menit mengganti timba yang berisi lahang dengan timba kosong, akhirnya penyadap turun membawa setimba lahang. Jika lahangnya lebih dari satu timba, biasanya diulur ke bawah menggunakan pilinan tali rafia.

“Sebentar lagi maghrib, Lin. Ayo kita pulang. Kau harus mampir ke rumahku,” ajak Muni kepadaku, tak kutoleh ia, mataku terpaku memandang para penyadap lahang yang pulang memikul timba. Kakinya yang telanjang begitu lihai menapak tanah ladang yang berbongkah-bongkah sisa dibajak.

“Lin!” Muni memanggilku kembali. Saat kutoleh, wajahnya sudah tampak temaram karena matahari telah mengeram ke rimbun daun nyamplung di sebelah barat ladang.

“Terima kasih, Mun. Biar besok atau lusa aku ke rumahmu. Masih ada tiga sampai empat hari lagi aku di sini.”

“Bagaimana menurutmu tentang siwalan, lahang dan gula?”

Aku masih ingin melihat cara memasak lahang hingga mengkristal jadi gula. Jadi, pendapatku baru akan muncul ketika segalanya sudah selesai kuamati,” jelasku kepada Muni. Ia mengangguk paham. Dan dingin memisau kulit kami pelan perlahan, ketika gelap merayap, menyelimuti dedaunan.

“Sebenarnya ada satu hal yang ingin kubicarakan kepadamu. Tapi, biar besok saja, ketika kamu bertamu ke rumah,” kata Muni beriring senyum lembut. Dan dadaku dipenuhi ragam tanya; apa yang hendak Muni bicarakan denganku. Jika soal cinta lagi, aku tetap akan menolaknya.

#
Di rumah Muni, aku dipersila duduk di lincak bambu, di sebuah dapur gedek yang ada di samping rumahnya. Di dapur itu ada tungku besar, dan di atasnya kuali aluminium sudah dipenuhi lahang, lengkap dengan pengaduk kayu.

Seorang perempuan dibalur peluh dan sebagian membutir di keningnya. Ia sibuk menyorong kayu bakar ke mulut tungku sambil sesekali mengaduk hingga lahang itu mendidih dan berbusa. Lalu kuali dipindah ke tanah, diaduk-aduk, menimbulkan bunyi meletup-letup. Cairan lahang yang diaduk itu perlahan berubah lengket dan mengkristal jadi gula. Perempuan itu lalu menuang gula itu sedikit-sedikit ke dalam po’o’7 sesuai takarannya. Setelah diabai sekitar satu jam, gula itu lalu dikeluarkan dari po’o’, bentuknya bundar dan padat. Kuhidu aroma sedap yang membuat lidah tergoda.

Muni menyilaku untuk mecoba mencicipi gula. Gula desa ini memang enak.

“Sebenarnya begini, Lin. Di desa ini rentenirisasi begitu binal, khususnya dalam urusan jual-beli gula. Ceritanya begini: ketika musim kemarau tiba, produksi gula melimpah, pada saat itu para rentenir biasanya membeli gula petani di bawah harga yang wajar, sehingga masyarakat kurang diuntungkan. Dan ketika musim penghujan tiba, para rentenir akan menjual gula yang telah dibelinya itu dengan harga yang sangat mahal. Sebagai sarjana ekonomi, aku muak melihat kenyataan seperti itu,” ungkap Muni dibarengi tatap mata yang agak sembab, mungkin karena perasaannya begitu empati kepada nasib warga.

“Lalu apa hubungannya denganku, Mun? sampai-sampai kamu memintaku datang ke sini untuk membicarakan hal itu,” tanyaku, membuat Muni menoleh ke wajahku.

“Aku punya ide besar untuk menyelamatkan warga dari rentenir. Caranya, aku akan mendirikan perusahaan gula rakyat, gula-gula rakyat akan dibeli oleh perusahaan dengan harga wajar di atas harga rentenir, agar warga lebih sejahtera. Selanjutnya, gula-gula itu akan diproduksi menjadi gula kelapa dalam kemasan, yang bisa didistribusi ke swalayan, supermarket dan toko. Dan sebagian besar warga akan direkrut menjadi karyawan dalam perusahaan itu,” kata Muni seraya menatap wajahku, kembali dengan suara khas cerdasnya, sebagaimana ketika kukagumi, saat kuliah dulu.

“Dan aku?”

“Aku ingin kamu menjadi manajer, paling tidak untuk dua tahun pertama. Tapi, jika kamu berkenan, kamu akan kujadikan manajer selamanya,” Muni tersenyum, dan di sepasang matanya seperti telah tertanam rasa optimisme yang besar.

Aku butuh waktu dua hari untuk menjawab permintaan Muni. Setelah kupikir matang, dan setelah minta pertimbangan pada keluarga melalui telpon, akhirnya aku tak ragu untuk mengangguk kepada Muni.

#

Pagi sangat cerah, dengan benang-benang cahaya terurai silau di gaun langit. Aku mendekat ke jendela kantor yang sedari tadi sudah terkuak. Gorden jingga digesek-gesek angin, bergerak-gerak, seolah ada jemari gaib melinting spontan dari luar. Aku memandang ke seberang jalan; Sebuah bangunan besar dua lantai, bercat hijau dan memanjang—yang terletak di lereng Bukit Montorra—selalu gagah dalam kepung keramaian; warga silih-ganti datang untuk menjual gula. Sedang mobil, truk, pick up dan motor juga datang silih-ganti mengangkut hasil produksi gula kelapa ke berbagai tempat, bahkan hingga ke luar Madura.  Tak hanya itu, setelah perusahan itu dilegalkan, hasil produksinya juga diekspor ke luar negeri. Omzet perusahaan itu sudah mencapai sepuluh miliar rupiah, warga desa ini sudah sejahtera karena—selain gulanya dibeli dengan harga yang mahal—biaya pendidikan dan kesehatanya juga ditanggung oleh perusahaan ini. Ya, itulah perusahaan Gula Bungduwak yang Muni dirikan. Sedang bangunan yang kutempati ini adalah kantornya. 

Tak terasa sudah dua tahun aku dan Muni mengurusi perusahaan Gula Bungduwak. Sudah tiba, jangka waktu minimum yang Muni tawarkan, tapi aku tak ingin beranjak dari sini. Aku bahagia bekerja dari bawah, bersama-sama membantu laju perekonomian masyarakat, hingga menggapai sukses bersama-sama pula. Aku kagum kepada Muni, dan tunas cintaku kepadanya seketika hijau kembali. Aku berharap Muni mengungkapkan cintanya lagi kepadaku. Saat ini, aku pasti akan menerimanya lagi dengan hati yang lebih bahagia dari yang dulu, tapi sayang, ia tak pernah mengatakan cinta lagi. Ia sibuk dengan beragam planing untuk mengembangkan perusahaannya.

Suatu malam, aku pernah menanggalkan seluruh pakaianku di depannya, harapku agar ia mau kuajak mencicip hidangan yang molek, dan ujungnya, supaya ia tak memberikan cintanya kepada wanita lain. Tapi, ia menggeleng dan matanya tampak redup saat memandang organ-organ di tubuhku, ia lebih suka mengalihkan padangannya ke jendela, melihat bulan warna kuning yang mematung senyap di pucuk trembesi.

“Maaf, Lin. Aku sekarang bukan lelaki. Sudah empat tahun impoten,” akunya sedih, tiba-tiba matanya seperti berembun, lalu ia tertunduk, menahan sesuatu yang pedih.

Di seberang kantor, deru mobil pengangkut gula terus melindas kesunyian. Gula yang manis, pekerjaan yang manis, orang-orang yang punya masa depan manis, tentu mereka tidak tahu, di sini direktur dan manajer mereka tengah mencicipi sesuatu yang pahit.

GapTim, 09.17
1. Pundi-pundi sebagai tempat menyimpan laru.
2. Sabit kecil untuk mengerat mayang.
3. Alat bantu kedua tangan agar bisa mudah memeluk pohon siwalan supaya tidak mudah jatuh saat memanjat. Biasanya terbuat dari pelepah daun siwalan yang dipilin jadi melingkar.
4. Alat jepit mayang berupa sepasang kayu yang kedua ujungnya diikat jadi satu.
5. Proses penjepitan mayang dengan sepasang kayu agar cepat mengeluarkan lahang.
6. Anyaman daun siwalan berbentuk tas, biasanya digunakan untuk membungkus timba agar lahang aman dari gangguan hewan.
7. Alat untuk mencetak gula, terbuat dari anyaman daun siwalan, berbentuk bundar agak kecil.


Tentang A. Warits Rovi.

Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media Nasional dan lokal  antara lain: Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Esquire, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Tabloid Nova, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, Solopos,basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang, Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Ummi, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang,  Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak, basa.basi.co, Harian Waktu dan beberapa media on line lainnya. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM 2015. Juara II Lomba Cipta Cerpen Remaja tingkat nasional FAM 2016. Juara I Lomba Cpta Puisi Hari Bumi FAM 2017. Ia juga Guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472.

Tidak ada komentar