HEADLINE

Cerpen Sulistiyo Suparno_DAUN JATI_(Dimuat Majalah Simalaba Versi Cetak, 30 September 2017)





Nasi megono buatan Mak Karti sungguh memikat lidah. Nasinya pulen, megononya gurih sedikit pedas, dan berbungkus daun jati. Pakailah tangan saat memakannya, jangan pakai sendok. Harganya cuma tiga ribu rupiah per bungkus. Mak Karti mendapatkan resep megono yang gurih dari almarhumah ibunya. 

Sejak muda Mak Karti sudah berjualan nasi megono di teras rumahnya. Untuk berjualan nasi megono tak perlu bikin ruangan khusus, cukup menata meja panjang di teras. Tak perlu kursi, karena pembeli lebih suka nasi megono dibungkus daun jati lalu dibawa pulang. 

Mak Karti jualan nasi megono usai salat subuh, pukul delapan pagi sudah ludes. Pelanggannya datang dari berbagai penjuru di kampungnya, bahkan dari kampung lain. 

Ada beberapa penjual nasi megono di kampung Kamulyan, tetapi orang-orang suka datang ke Mak Karti. Mereka ingin menikmati aroma daun jati pembungkus nasi megono; sesuatu yang langka di zaman serba buatan pabrik ini. 

“Kalau bisa dimakan, ingin kumakan juga daun jati ini, Mak,” komentar seorang kernet bus antar desa saat sarapan, duduk di jok motor, sebelum berangkat kerja. Biasanya, pelanggan yang makan di tempat, memilih menggunakan piring. Tetapi si kernet lebih suka pakai daun jati.

“Bagaimana kalau suatu saat aku ganti daun jati dengan kertas minyak?” tanya Mak Karti menyelidik.

“Seperti nasi megono Yu Sarmi? Jangan, Mak. Kurang nikmat. Mak Karti tanamlah banyak-banyak pohon jati di lapangan. Biar ndak kekurangan daun jati,” sahut si kernet.

“Lapangane mbahmu apa?” Mak Karti menukas, tertawa.

Mak Karti mendapatkan duan jati dari Mbah Siyem, sejak puluhan tahun silam. Kini usia Mbah Siyem sudah renta, mungkin 70-an tahun, tetapi masih kuat berjalan jauh. 

Mbah Siyem tinggal di kampung Sumurwatu dan ia berjalan sekitar tiga kilometer menggendong beberapa gulungan daun jati menuju rumah Mak Karti. Tiap gulung berisi duapuluh lembar daun jati diikat tali bilah bambu. Biasanya Mbah Siyem setor lima gulung daun jati pada Mak Karti.

Biasanya, pukul empat sore Mbah Siyem sudah datang. Tetapi hari ini sudah hampir pukul lima sore, Mbah Siyem belum mengucap salam atau mengetuk pintu rumah Mak Karti. Mak Karti berkali-kali melirik jam dinding di ruang tengah. 

Di ruang tengah, Mak Karti duduk bersila. Di depannya ada tampah ukuran besar tempat ia mencacah nangka muda. Di dekatnya, bersila pula Widati, anaknya yang baru lulus SMA, melakukan hal yang sama. 

Lagi, Mak Karti melirik jam dinding. Pukul lima sore kurang sedikit. Wajah Mak Karti mulai cemas, memikirkan hal-hal buruk tentang Mbah Siyem. 

“Bagaimana kalau saya telepon saja, Mak?” tanya Widati, mengerti kecemasan ibunya.

“Nelpon siapa?”

“Dati punya nomor hape Agus, cucu Mbah Siyem.”

“Boleh. Coba kau telpon Agus.”

Widati beranjak masuk kamar, mengambil ponsel, lalu mengubungi seseorang. Beberapa saat kemudian, ia kembali ke ruang tengah.

“Mak,” kata Widati. “Agus bilang, Mbah Siyem sudah berangkat sejak sebelum asar tadi.”

“Seharusnya Mbah Siyem sudah sampai, kan?” sahut Mak Karti.

“Jangan-jangan Mbah Siyem ketiduran di mushola, Mak?”

Mak Karti tertegun. Mbah Siyem pernah cerita, kalau ia selalu berangkat menjelang asar, lalu mampir ke mushola ketika waktu asar tiba. Mbah Siyem takut naik motor, muntah kalau naik angkutan, sehingga ia memilih berjalan kaki bila berpergian.

“Coba kamu telepon lagi Agus. Suruh dia ke mushola tempat biasa Mbah Siyem sholat asar,” kata Mak Karti.

“Ya, Mak.” Widati bergegas ke kamar, menelepon Agus. Ketika kembali ke ruang tengah, wajah Widati pucat dan tubuh gemetar.

“Ada apa?” tanya Mak Karti cemas.

“Agus bilang, baru saja ada dua orang ke rumahnya. Mereka mengabarkan kalau Mbah Siyem meninggal di mushola saat sholat asar, Mak.”

“Innalillahi...” Suara Mak Karti tercekat.

***

Sejak Mbah Siyem wafat, pasokan daun jati terhenti. Mak Karti menggantinya dengan kertas minyak. Para pelanggan mengeluh lidah mereka tak bisa lagi bergoyang. Tak ada lagi aroma daun jati penambah selera makan. 

Dengan diantar Widati naik skuter, Mak Karti menemui Agus, meminta cucu Mbah Siyem itu untuk menjadi pemasok daun jati.

“Capek dan panas, Mak. Bisa hitam kulit saya,” kata Agus.

“Kulit kamu kan sudah hitam.”

“Hehehe. Mak Karti bisa saja.”

“Tolong, ya?”

“Malu ah, Mak. Masa saya yang lulusan SMA jadi tukang daun jati? Suruh bapak atau ibu saya saja, Mak.”

“Kamu ini bagaimana,” Mak Karti menukas. “Bapakmu di Jakarta, ibumu di Hongkong. Apa aku harus menyusul mereka?”

Agus terkekeh. “Maaf ya, Mak? Saya ndak bisa bantu,” ujarnya menyeringai.

Mak Karti pulang. Kecewa. Widati mengendarai Vario merah pelan menyusuri jalanan beraspal rusak, membelah hutan jati. Di boncengan, Mak Karti duduk menyamping, memandang hamparan pohon jati dengan tatapan nanar. Mak Karti menghela napas ketika teringat esok ia akan menghadapi para pelanggannya yang mengeluh karena kehilangan daun jati.

***

Mak Karti memperpanjang jam buka. Pukul sepuluh siang ia menutup warungnya. Di bakul masih ada sisa nasi, yang setara dengan sepuluh bungkus. Masih pula tersisa beberapa bakwan, tahu sumpal, dan tempe goreng tepung.

Widati membantu Mak Karti mengemas barang-barang, membawanya ke dapur. Mak Karti menggulung sisa kertas minyak dan ia tertegun. Mak Karti mencium aroma daun jati. Wanita paruh baya itu menoleh ke halaman ketika mendengar suara motor berhenti.

Tampak Agus turun dari Supra X 125 merah, melepas buntalan yang terikat di boncengan. Mak Karti menatap lekat-lekat dan bertanya.

“Daun jati untuk siapa, Gus?” tanya Mak Karti.

“Untuk Mak Karti, dong,” Agus tersenyum, mendekap buntalan daun jati, melangkah menuju teras. “Lima gulung seperti yang biasa disetor nenek saya, Mak.”

Mak Karti tersenyum. 

“Kamu yang memetik daun jati ini?”

“Ya, Mak.”

“Kamu ndak takut kulitmu jadi hitam?”

“Kulit saya kan memang sudah hitam, Mak.”

Mak Karti tertawa, menepuk bahu si pemuda dan mengucapkan terima kasih beberapa kali. Semangat hidup Mak Karti tumbuh lagi dan ia membayar daun jati itu seraya berpesan, “Besok dan seterusnya datanglah membawa daun jati.”

“Siap, Mak. Saya akan ke sini jam seginian, sekalian berangkat ngojek,” sahut Agus seraya melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. “Widati ada, Mak?”

Mak Karti mengamati beberapa saat Agus, membuat pemuda itu kikuk.

“Kamu mau ketemu Widati?” tanya Mak Karti menahan senyum.

Agus gugup.

“Ndak, Mak,” Agus menggeleng. “Cuma tanya saja, kok, Mak. Permisi, Mak.” Ada semburat merah di wajah pemuda itu.

Mak Karti membawa gulungan daun jati ke dapur dengan senyum mengembang. Widati baru saja selesai mencuci perkakas dan ia mengernyitkan dahi melihat keanehan sikap ibunya. Ketika melihat Mak Karti meletakkan daun jati di meja dapur, mengertilah Widati mengapa ibunya tampak gembira.

“Pantaslah Mak gembira. Dapat daun jati dari mana, Mak?” tanya Widati.

“Dari Agus.”

“Cucu Mbah Siyem?”

Mak Karti mengangguk. “Bukan hanya daun jati. Mungkin Mak juga akan dapat lebih dari ini.”

“Maksud Mak?”

Mak Karti menjawab dengan senyuman dan mata bercahaya. Mak Karti berlalu dari dapur, masuk ke kamar. Mak Karti melepas jilbab hitamnya, mematut diri di depan cermin lemari pakaian. Mak Karti mengamati wajahnya dan ia menemukan ada sehelai uban di rambut panjangnya. 

“Aku sudah pantas punya cucu,” Mak Karti menggumam. Senyumnya mengembang makin lebar. “Aku memang sudah benar-benar pantas punya cucu.”

***SELESAI***

Catatan: megono merupakan makanan khas daerah Pekalongan (Jawa Tengah) dan sekitarnya. Terbuat dari nangka muda yang dicacah kecil-kecil, dikukus, dicampur parutan kelapa yang telah diberi bumbu rempah-rempah. Rasanya agak asin dan ada pula yang agak pedas.





Tentang Penulis



Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya telah tersiar di berbagai media lokal dan nasional. Bermukim di Krangkoan RT 004/RW 002 Ngaliyan, Kec. Limpung, Kab. Batang 51271, Jawa Tengah

Tidak ada komentar