HEADLINE

Cerpen Sam Edy Yuswanto _KAMPUNG PURWO

SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 2 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)


Purwo adalah nama sebuah kampung kecil di ujung selatan kota ini. Dulu, tepatnya beberapa puluh tahun silam, kampung ini terbilang sepi dari lalu-lalang kendaraan. Sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang ini yang hendak menyeberang jalan saja, harus berkali tengok kanan-kiri. Maklum, masa itu, jalan utama yang menghubungkan ke kampung ini belum beraspal. Masih tanah kasar berlubang. Puluhan batu besar juga nampak berserak di pinggir, bahkan tengah jalan. 

Ketika tiba musim penghujan tiba, betapa payah kondisi jalan tersebut. Lubang-lubang tergenangi air. Sehingga kian menambah sengsara bagi sesiapa yang hendak melewatinya. Tak hanya itu. Halaman rumah-rumah warga juga tak luput dari genangan air hingga mencapai mata kaki. Malah beberapa rumah yang lokasi tanahnya agak menurun, ketinggian airnya nyaris mencapai lutut orang dewasa.

Saat musim penghujan itulah, aku bersama kawan-kawan sebaya, merasa menjadi manusia paling merdeka di dunia. Senang tak terkata. Sebab, kami bisa dengan sepuas hati oyor-oyoran (berjalan-jalan sembari berkecipak air), berkeliling melewati halaman rumah-rumah tetangga, sesekali mencebur-ceburkan tubuh sambil terpekik senang tak kepalang. Meski kami sering diomeli orangtua masing-masing akibat tingkah laku kami tapi tak membikin kami jera. 

Keriaan kami kian melunas, saat di jalan-jalan yang tergenangi air, bisa dengan mudah kami temukan kecebong dan ikan-ikan, mulai yang kecil hingga yang besar, yang tengah berlarian pontang panting ke sana kemari. Kami (seraya terpekik girang) biasanya saling berlomba memacu kaki mengejari ikan-ikan itu. Dan yang buat kami merasa takjub, ada beragam jenis ikan yang bisa dipastikan selalu datang menyambangi kampung Purwo tiap musim penghujan tiba. Ada ikan lele, bayong, licingan, wader, hingga bethik dan sepat. Sayangnya, jenis ikan-ikan ini (kecuali lele) keberadaannya sekarang nyaris punah akibat sungai-sungai di kampung kami tak lagi sejernih dulu. Aha, kalian pasti tahu apa yang menjadi penyebabnya bukan? 

Rasa takjub kami belum usai karena menurut cerita para orangtua, katanya ikan-ikan itu diturunkan Gusti Allah langsung dari keleluasan langit, tepatnya seiring deras hujan yang tercurah ke bumi. Entah, benar atau tidaknya cerita tersebut, tetapi yang jelas, aku pernah melihat secara langsung beberapa ekor ikan lele menggelepar-gelepar di atap seng rumah Mbah Karjo (tetangga samping rumah) saat bapakku disuruh beliau memperbaiki atap seng-nya yang melorot usai hujan turun dengan deras.

“Ini, Le, kau bisa lihat sendiri, Gusti Alloh itu maha Kuasa dan Pemurah,” ucap Bapak usai turun membetulkan atap rumah Mbah Karjo. Korneaku sampai tak berkedip saat melihat kedua tangan legam Bapak yang sedang mencengkeram kuat-kuat tiga ekor ikan lele yang tengah berjuang sekuat tenaga melepaskan diri.

Saking tak kuasa menahan takjub melihat ikan-ikan lele itu ditemukan di atap rumah Mbah Karjo, kucondongkan wajah lebih dekat ke arah tiga ekor lele yang kemudian dipiara bapak di kolam belakang rumah. Sayangnya lele-lele tersebut hanya bertahan hidup tak lebih dari seminggu saja. 

“Kok, ikan lele bisa berada di atap, sih, Pak,” tanyaku polos, penasaran.

“Ikan lele ini dari langit, Le. Sengaja Gusti Allah turunkan bersamaan dengan hujan, inilah yang dinamakan hujan rahmat, hujan penuh berkah,” Bapak tersenyum, meski aku belum sepenuhnya memahami ucapan dan senyumannya. Sungguh, tak kutemukan setitik pun kebohongan di raut Bapak saat menjelaskan perihal turunnya ikan saat hujan turun dan menurutku ajaib itu. Dan sejak saat itulah, rasa heranku tentang muasal ikan-ikan yang selalu kami kejar dan tangkapi di genangan air saat musim penghujan tiba, langsung terjawab.

Aha, tapi itu dulu. Dulu. Beberapa puluh tahun silam. Saat usiaku masih kanak. Ketika kedua orangtuaku masih sehat wal afiat (kini mereka telah tiada). Tepatnya saat kampung ini belum tersentuh benda-benda canggih seperti notebook, handphone, dan beraneka gadget keluaran terbaru yang membikin orang tak lagi sempat saling bertegur sapa dan melempar senyum ketika berpapas di jalan, bersebab penglihatan mereka terkonsentrasikan pada benda-benda mungil nan canggih yang berada di genggaman tangan masing-masing.

***

Purwo. Hm, aku benar-benar merindui kampung halaman kami dulu. Kampung yang terasa sangat natural dan asri karena ditumbuhi pepohonan kelapa di sana-sini. Meski jalanan yang menghubungkan ke kampung kami belum terjilati aspal licin dan bila musim penghujan selalu membuat halaman rumah kami terluberi air, tapi aku dan teman-teman, bahkan seluruh warga kampung tak pernah ada yang sudi menyebut sebagai banjir (mungkin karena satu hingga dua hari, air tersebut akan surut dengan sendirinya dan kami tak sampai dibikin repot mengungsi). Kendati Pak De dan Pak Lik-ku yang telah lama tinggal di kota besar selalu mengujar (dengan nada meremehkan) bahwa kampung kami rawan banjir sehingga mereka enggan pulang ke kampung saat musim penghujan tiba. Nyatanya, sekarang fakta justru berbalik. Coba kau lihat, kondisi kota-kota besar yang tak pernah selamat dari amuk banjir tahunan.    

Dulu, meski listrik belum merambah kampung, akan tetapi tiap malam, musala dan masjid tak pernah sepi dari suara-suara semangat yang meluncur melalui bibir-bibir polos kami yang sedang dituntun (dengan penuh telaten dan kesabaran) oleh Mbah Karjo melafazkan ayat-ayat Alquran serta beberapa kitab kuning karya ulama-ulama salaf ternama. Dulu, anak-anak sebayaku, selulus sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, bisa dipastikan telah mengkhatamkan Alquran dengan penguasaan ilmu tajwid yang terbilang lumayan. Pula, telah mengkhatamkan beberapa kitab kuning tak terlalu tebal, seperti Mabadi Fiqhiyyah, Safinatun Najah, Sulam Taufiq, dan tak ketinggalan kitab Akhlaqul Banin (kitab yang mengajarkan kami tentang pekerti mulia).

Kini, Mbah Karjo telah lama tiada. Lantai mushala kecil di samping rumahnya telah terpasang kilau keramik. Kesemua dinding yang dulu masih gedeg juga telah lama ditembok. Listrik juga telah terpasang dan beberapa lampu neon begitu benderang menyinari musala saat senja telah berjubah malam. Kesemua pembangunan itu merupakan hasil dana yang terkumpul dari warga. Namun, musala itu kini tak seramai dulu. Bahkan bisa dibilang sepi. Hanya aku, beberapa bocah ingus dan satu dua kakek nenek yang masih sudi menyambangi guna mengharap pahala shalat berjamaah 27 derajat. Dulu, sebelum Mbah Karjo wafat, beliau pernah berwasiat agar aku bersedia meneruskan perjuangannya menegakkan ajaran syariat. Mulanya, aku berkeberatan karena merasa tak begitu mumpuni di bidang agama. 

“Le, menghidupkan syariat itu ibarat menggenggam bara, sangat berat. Namun jika kita lepaskan, syariat itu akan mati. Lantas, kepada siapa lagi aku berwasiat jika nanti aku dipanggil Gusti Allah sementara aku tak dikaruniai anak. Kau juga tahu kan, semua kerabatku tak ada yang betah tinggal di kampung,”

Itulah kalimat terakhir Mbah Karjo yang membuatku tak kuasa untuk tak mengangguk. Sekuat tenaga, aku berusaha menjalankan amanah beliau.   

“Haaa haa haa haaa!”

Suara pekak tawa seiring deru motor bising yang selalu wara-wiri melewati jalanan aspal depan rumah, sontak memenggal lelamun masa laluku. Kepul asap hitam pekat yang menyembur tajam dari knalpot motor terlihat meruangi udara, terhempas angin yang berembus ke segala penjuru, menyebarkan rerupa virus penyakit, membuat tapak tanganku yang kini didominasi oleh keriput terangkat spontan, menutup hidung dan mulut.

Kalian tentu dapat melihat sendiri kan, budaya anak zaman sekarang, ngebut saat mengendarai motor adalah hal biasa. Seolah mereka memiliki nyawa cadangan. Seolah jalan umum adalah milik mereka. Tak peduli jika aksinya sangat membahayakan orang lain sesama pengendara atau para pejalan kaki. Dulu, ah, jangankan sepeda motor, sepeda onthel saja menjadi barang ‘wah’ di kampung ini. Satu kecamatan bahkan bisa dihitung dengan jari warga yang memiliki sepeda motor, terlebih mobil.

“Allahu akbar, Allohu akbar!”

Kali ini, suara bocah kecil mengumandangkan azan Asar memenggal lelamun masa silamku. Hmm, bahkan para pemuda di kampung ini sekarang tak ada yang bisa melafazkan (dan tentu saja ogah bila disuruh) azan dengan fasih. Aku masih ingat keterangan Mbah Karjo saat mengaji dulu, bahwa menyeru kalimat azan dan iqamah termasuk berpahala besar. 

“Ada tiga golongan manusia yang akan dilindungi Gusti Allah dari siksa kubur, Le. Pertama, golongan orang-orang yang mati syahid. Kedua, para muazin yang dengan ikhlas dan sabar menyeru shalat lima waktu, dan yang terakhir mereka yang wafat pada malam atau hari Jumat”.

Kalimat yang mengalir serak dari bibir keriput Mbah Karjo kembali meruangi telingaku. Kalimat inilah yang membuatku semakin yakin untuk terus berjuang menyalakan lentera syariat, meski berat, seberat menggenggam bongkahan bara. Kendati saat ini orang-orang yang sudi mengaji di musala bisa dihitung dengan jari tapi aku tak akan berhenti berjuang menyeru kebaikan.

“Allahu akbar Allahu Akbar, laa ilaaha illallaah,” 

Astagfirullah. Aku lekas menggumam istigfar saat bocah lelaki yang baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah itu telah mengakhiri kalimat adzan. Buru-buru kedua telapak tangan kutengadahkan seraya melantunkan beberapa baris doa sebagaimana yang pernah diajarkan Mbah Karjo. 

Baru saja tubuhku hendak beranjak dari dipan bambu di emper rumah, dahiku mengerut heran melihat bocah lelaki yang barusan mengumandangkan azan keluar musala dan dengan langkah tergesa menghampiriku.

“Pak, Azam barusan kentut sedikit, batal nggak, ya?” tanyanya polos. Aku tersenyum geli sebelum akhirnya menjawab. “Iya, batal, Le. Sana, ambil air wudhu lagi,”

“Tapi kentutnya sedikit, nggak sampai bunyi, kok, Pak,”

“Penyebab batalnya wudhu itu karena keluarnya angin, baik itu sedikit atau banyak, berbunyi atau tidak berbunyi, Le,” aku berusaha memahamkannya dengan nada pelan. 

Bocah bernama lengkap Muhammad Azam Ahsan itu nampak berpikir sejenak dengan dahi berkerut. Sepertinya ia masih ingin memprotes kalimatku tapi entah kenapa tak jadi. Lantas, tanpa banyak kata lagi, ia segera menghambur ke belakang untuk mengambil air wudhu.

Aku tersenyum. Tiada henti hatiku merangkai kalimat syukur karena hingga saat ini masih ada beberapa bocah yang mau kuajak mengaji dan mendirikan shalat berjamaah, meski tidak full lima waktu. Bocah yang sehari-hari dipanggil teman-temannya dengan sebutan ‘Azam’ itulah yang menjadi penyemangat hidup sekaligus pelipur lara pasca ibunya meninggal dunia 2 tahun silam. Ia adalah putra bungsuku.

***

Puring Kebumen, Januari 2013-2016   

Tentang Penulis



Ratusan tulisannya tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Seputar Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Koran Jakarta, Kompas, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Pontianak Post, Sumut Pos, Malang Post, Koran madura, Surabaya Post, Bangka Pos, Radar Surabaya, Serambi Ummah, Kartini, Cempaka, Nova, Sabili, Rindang, Potret, Story, Berdi, Basis, Luar Biasa, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Harian Jogja, Solopos, dll.

Tidak ada komentar