HEADLINE

PUISI PUISI NURIMAN N BAYAN



KEPADA TUHAN II

Tuhan
di balik pintu-Mu
aku ombak
musim Desember.

Ternate, 26 Juli 2017.

WAJAH MALAM 1

Malam kali ini mengingatkanku
padai hujan dan sunyi musim lalu
ketika manusia tertidur
dan aku mengemasi kata kata
menuliskan sebuah puisi
di antara doa-doa, berlarian mengetuk pintu langit.

Ternate, 28 Juli 2017.

BURUNG BURUNG HANTU

Lalu burung burung hantu itu terbang
menuju ke Kota-kota, ke Desa-desa
di ranting-ranting persinggahan
suara suara melesat, menggelegar
layaknya petir menjilat kulit gunung .

Di jalan itu, kami menyaksikan
dengan kepala dan dada bercampur aduk
entah kenapa?
kedatang burung burung itu
selalu saja menghujankan gelisah.

Sebelum burung-burung itu berdatangan
aku melihat tahi tahi menempel di baliho
di sepanjang jalan kota dan desa desa
bahkan ada juga menempel di pintu pintu rumah.

Ah, setelah mataku meliput lebih seksama
aku baru sadar, burung burung hantu itu
pernah menerkam ayam ayam di kampungku
bahkan pernah mengunyah-ngunyah
berjumlah uang mesjid
di kampung sebelah.

Ternate, 27 Juli 2017.

DI BALIK CERMIN ITU

Kita tak pernah tahu
jumlah doa yang diangkat orang orang itu
setelah kita berbuat baik
meski kita tahu
bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.

Kita tak pernah tahu
jumlah sesak yang menggerutu dari perut orang orang itu
setelah kita berbuat tidak adil
meski kita tahu
bahwa kejahatan akan dibalas dengan kejahatan.

Kita pun tak pernah tahu
jumlah duri yang telah kita tikamkan ke dada orang orang itu
setelah kita membunuh mimpi-mimpi kecil mereka
meski kita tahu
bahwa bekas tikaman adalah luka yang nganga.

Ternate, 27 Juli 2017.

JULI AIR MATA

Ia pulang ketika matahari jatuh
menggengam jambu air pesan istrinya
di jalan itu-- 
tiba tiba darah tumpah.

Di rumah kesedihan
samudra tumbuh dari mata perempuan
riak dan debur
menggelar menghantam pulau pulau.

Ternate, 24 Juli 2017.

KAMI ADALAH SERATUS JIWA

Kami adalah kata kata tak bersuara
dari 32 jiwa yang terluka
sebab ego.

Kami adalah bahasa bahasa tak bersayap
dari 32 mimpi yang tertunda
sebab kuasa.

Kami adalah doa doa yang gugur
dari 32 jiwa yang tergilas
sebab lupa.

Hai, tuan, mama, papa
nenek, tete, om, opa
ini kami, lihatlah kami
yang tertimbun kertas kertas kuasa.

Jika ini bukan puisi
biarlah aku bicara tentang hukum
hukum Tuhan
hukum Alam
agar kita sama-sama terhukum.

Ternate, 24 Juli 2017.

BUNGA EDDELWEIS

Dari bangku kosong ini
sambil meraba dadaku
aku menghitung rekahmu.

Kau adalah bunga eddelweis
dari seribu taman
yang mekar di ranting-ranting musim
berhari-hari aku rawat daun-daunnya
sambil mengecup putiknya
meski memelukmu adalah diam.

Ternate, 24 Juli 2017.

SEPASANG KUNANG KUNANG

Aku, yang sedari pagi menghitung sesak
adalah luka
dari mata yang terlampau dimasuki
dan diracuni sepasang kunang kunang malam ini.

Hai, kesetiaan bukan untuk dilukai
dan bangku itu, bukankah bangku kita?
ya, tak mengapa
sebab dusta tak pernah abadi.

Ternate, 25 Juli 2017.

JIKA KAU PERGI

Jika kau pergi, pergilah
bawalah manik manik setia itu
lalu letakkan di depan rumah
biar hujan tumpah dan mengalirkan kembali ke sungaiku
sebab aku adalah muara dari perjalananmu.

Pergilah, pergilah
aku telah tabah
menghitung orang orang keluar masuk dari mata ini
meski gelisah adalah duri.

Pergilah, pergilah
kemana hati bertandang
bebaskan segala kesumat dan sihir yang mengikat
sampai kita bertemu di laut keabadian
dimana-- engkau telah lupa 
cara memanggilku sebagai kekasih.

Ternate, 25 Juli 2017.

KE BUKIT MANUSIAWI

Kekasih
mari kita tinggalkan sengketa kekanak ini
kita pulang ke bukit manusiawi.

Ternate, 25 Juli 2017.

KALAU SAJA AKU MENJADI KATA KATA

Kalau saja aku menjadi kekata
jangan harap--
aku hidup di mulut pendusta
karena manusia pasti celaka.

Kalau saja aku menjadi kekata
jangan harap-- 
aku hidup di pena para pelipat
karena dunia pasti celaka.

Ternate, 23 Juli 2017.

ORANG HALMAHERA PUNYA CERITA

Sejatinya kami (Halmahera) punya cerita
untuk tidak mentalak isyarat
apa lagi pergi sampai lupa tanah asal
sebab sedari kecil kami sudah diajari
cara mengenal musim di tiap-tiap cuaca.

Sesungguhnya kami (Halmahera) tak selebar daun telinga
atau pulau pulau kecil seperti Hiri dan Maitara
kami juga tak suka gila pujian
sebab kami, dilahirkan dari rahim:
bukit, sungai, tanjung, teluk dan laut serta hamparan pasir (hitam dan putih)
mengunyah arloji di bibir sungai dan paka-paka ombak
dan setelah besar kami berlari ke kota kota impian.

Sesungguhnya, tidak mungkin kami sepakat
jika jejak jejak leluhur kami ditukar dengan limbah air mata
apa lagi tanaman kami ditukarkan dengan pohon-pohon yang tak sungguh.

Ternate, 22 Juli 2017.

WAJAH INDONESIA

Inilah wajahku, Indonesia
sunyi, kaya dan air mata.

Biar kutulis dengan tangan kananku
dan kusimpan di otak kiriku
agar sejarah mencatat ragamu
dan puisi melukis batinmu
sebab nadimu adalah Aku.

Ternate, 28 Juli 2017.

DOSEN PALSU

Akhirnya, ia pun membimbing mahasiswa dengan bimbingan palsu
pada setiap bimbingan proposal palsu
hasil penelitian palsu dan skripsi palsu
ia berfoya-foya memberi alasan palsu
coretan-coretan palsu
amarah-amarah palsu
agar bisa mendapatkan bayaran palsu 
dari mahasiswa-mahasiswa palsu.

Ketika ujian seminar tiba
mahasiswa pun berlomba-lomba
mendatangi ruang dosen palsu
membawa uang palsu
demi mendapatkan tanda tangan palsu.

Namun sebelumnya
ia suka memberikan nasihat-nasihat palsu
di podium-podium palsu
dan suka menagih-nagih uang palsu
dari mata kuliah palsu dengan jumlah SKS palsu.

Ternate, 29 Juli 2017.
Catatan:
Puisi ini saya tulis, karena terinspirasi dari “SAJAK PALSU” karya Agus S. Sarjono
dan gelisah yang terlampau menyumbat kepalaku, ketika menyaksikan tingkah laku dosen yang terlalu berlebihan.




Tentang Penulis:
Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N. Bayan, lahir di Desa Supu Kecamatan Loloda Utara Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara pada 14 September 1990. Anak dari Hi. Nasir Do Bayan, dan Rasiba Nabiu. Anak keenam dari sembilan bersaudara. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-Ukhair. Saat ini membina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (Komunitas Teater) dan tergabung di Komsas Simalaba. Karyanya dipublikasikan di media online (www.wartalambar.com dan litera) dan tergabung dalam antologi bersama: Kita Halmahera, Kitab Penyair Maluku Uatara (Garasi Genta, 2017), Embun-Embun Puisi (Perahu Litera, 2017), Majalah Simalaba (2017), dan Majalah Mutiara Banteng (2017). Selain menulis puisi, ia juga menulis berjumlah naskah teater (Potret Pendidikan Bermata Uang, Lihat Tanda Tanya Itu, Biarkan Kami Bicara, Indonesiaku Kau Hilang Bentuk Remuk, Membuka Nestapa Yang Hilang), telah dipentaskan pada setiap kegiatan (kampus maupun di luar kampus). Kini tinggal di Ternate Utara.

Tidak ada komentar