HEADLINE

(Edisi hari ini_Senin, 07 Agustus 2017)_ PUISI PUISI ENDANG A




WUJUDMU NYATA

Dalam desah napas bumi
kehadiranmu terdefinisi kembali
bersama bangkitnya sebuah puisi dalam buku-buku kata
dan bingkai kertas bersimbol kemenangan.

Malam menemani rutinitas kesunyian
pergerakannya berupa lipatan keserakahan berkabut masa
dengan aliran kegelapan memangsa tunas tunas untuk mati berkalimat
dia membentuk serpihan senyuman
setelahnya.

Ya benar 
kau ada, hidup terbaca jejaknya
namun dengan penyamaran tanda kutip, tak terjamah
adalah cerita berbasa basi tanpa arah
bermain aksara tanpa jeda pengakhiran
aku terkulai lemas di hadapannya.

Jakarta, 11 Juli 2017



AYAH

Jejak ini lama singgah di matamu
mengulang rasa pada jalur batu
sejak kepulangan tempo hari
hingga kini
wajahmu masih meninggalkan kesan.

Adakah air mata ini akan menghilang?
sebab sesaknya masih dalam rongga
sebuah arsib belum juga terbungkus
padahal lebaran sudah menyapa berkali kali
tetapi belum jua terungkap.

Duhai peri keadilan
pelayanan hukum belum tuntas tersaji bumi
sudilah mampir dalam lembaran
bungkam kalimat kebohongan agar bersuarakan kebenaran.

Jakarta, 12 Juli 2017.



RAJA KEGELAPAN

Entahlah
sisa hujan masih belum menghilang
sedang kicauan burung mengisi jejak keseharian
aku terkulai lemas dalam kalimat ketidakberdayaan.

Hai kalian penguasa dunia kegelapan
masihkan mencari korban
lalu menyisakan sakit
di antara perjalanan singkat yang kalian jepit.

Meringis aku, menandai patahan hujan
di setiap rumah
sebelahku.

Wahai hati yang bersembunyi, keluarlah
aku ingatkan dengan santun
sebuah cerita kehidupan setelah kematian
marilah resapi tiap lembarannya
kemudian patahkan morgana yang berupa kunci akhirat
menuju jalan kebenaran.

Jakarta, 12 Juli 2017.



ADAKAH SUARA KALIMAT

Perempuan itu menepi, dengan tubuhnya penuh bercak darah
kemana gerangan alamat?
sedang nyawanya di ujung napas.

Hei bumi!
helaian isimu penuh ladang dosa 
aku tergidik
adakah suara kalimat hati memecah kekejaman
di antara rute jalur gemerlapnya morgana.
nyawa tak  berharga.
Jakarta, 13 Juli 2017.

IBU

Kau wanita ketegaran
hadapi dunia tanpa isakan kerewelan layaknya ibu ibu yang lain
dan pola pikiran
tak pernah macet dalam petuah dan kebutuhan
walau duka menyelimuti jejak langkahmu.

Ibu, kubaca langkah perjalanan
tak pernah membuat sebuah kalimat lelah
selalu umbarkan senyuman
di antara kerasnya jalur hidup
dan aku memaki ketiadaan bentuk rupa
tanpa memikirkan kesulitan rutinitas kehidupan.

Maafkanlah aku, ibu
kusuarakan dalam hati kalimat tulus melambai
sebab baru kusadari
morgana ini menelan nyali.

Jakarta, 13 Juli 2017



DI LAUTMU AKU MENGEMBARA

Lama terdiam di pasir putih dengan pesona alam, menikmati desir angin yang menerpa tubuhku
cahaya pesisir berlabuh tepat di atas ubunubun, membuat rasaku ingin lebih lama tinggal dan bermain
sebab, pantai ini tempat aku mengadu rinduku
dan menenggelamkan pikiran dari kemacetan arus aktivitas monoton ibu kota.

Di tanah ini pertama kali kuhirup udara lampung
adalah benar belukar ini memancing hasratku untuk mengembara
memenuhi mimpi yang belum tertuntaskan 
kau tau benar, lama nyali ini ciut, ketika berhadapan dengan dunia
sebab kepincangan ini acapkali mengubur detak aksara, menjadi sekarat di ujung batu.

Sepenggal makna hidup, yang tertera berupa misteri air, alam
dan daun-daun nyiur, bergerak santai, menikmati tiap episode yang ku petik.


Dalam dekapan sang waktu, kehangatan menjarah liar memasuki celah kecil kehidupanku
menanti sepasang bola, hitam tajam, untuk menjadi kisah, dalam catatan puisi kali ini.
adakah cahaya itu datang pada lembaran lampungmu yang berkisah kemarin?

Jakarta, 27 Juli 2017.



SUARA HATI

Perlahan
kurebahkan harapan
yang masih tertahan
di perut bumi.

Sebab pintupintu
masih bersembunyi
dalam wadahwadah rasa cemas, akan hari esok.

Seandainya aku kumpulan kata bijak
maka rakitan suaraku tak akan terdesak zaman
sehingga tabir gelap tak akan hadir pada kedua bola mata, melahirkan patahan hujan.

Telah lama menyaksikan arus gelombang memainkan hidupku, sedang aku hanya berdendang, berpurapura tak menyadari pertikaian hati bergejolak, naik turun. 

Entahlah!
di ujung ruang aku membisu
menjadi dungu dalam keseharian ini
dan kembali melipat tangis yang tumpah pada episode kecewa.

Jakarta, 26 Juli 2017.



Tentang penulis

Endang A, hobby menulis sejak tahun 2016 bulan juni,  aktif belajar menulis di sebuah group wa Kala Jombang sejak Januari 2017. Gurunya adalah I Imam Gede Pamungkas Aji. Dia terinspirasi menulis cermin dan novel horor juga prosa dari gurunya. Dan puisinya terinspirasi dari karya Riduan Hamsyah dan Ketut Imanuel.

Tidak ada komentar